HALAMAN UTAMA

Selasa, 21 Desember 2021

Kehidupan Politik di Kerajaan Ternate dan Tidore

 


Di Maluku yang terletak di antara Sulawesi dan Papua terdapat dua kerajaan, yakni Ternate dan Tidore. Kedua kerajaan ini terletak di sebelah barat Pulau Halmahera di Maluku Utara. Kedua kerajaan itu pusatnya masing-masing di Pulau Ternate dan Tidore, tetapi wilayah kekuasaannya mencakup sejumlah pulau di Kepulauan Maluku dan Papua.

 

 

Kerajaan Ternate sebagai pemimpin Persekutuan Uli Lima, yaitu persekutuan lima bersaudara dengan wilayahnya mencakup pulau-pulau Ternate, Obi, Bacan, Seram dan Ambon. Kerajaan Tidore sebagai pemimpin Persekutuan Uli Siwa (persekutuan sembilan saudara) wilayahnya meliputi pulau-pulau Makyan, Jailolo atau Halmahera, dan pulau-pulau di daerah itu sampai dengan Papua Barat. Di antara keduanya saling terjadi persaingan dan makin tampak setelah datangnya bangsa Barat.

 

Bangsa Barat yang pertama kali datang di Maluku ialah Portugis (1512) yang bersekutu dengan Kerajaan Ternate. Jejak ini diikuti oleh bangsa Spanyol yang berhasil mendarat di Maluku 1521 dan mengadakan persekutuan dengan Kerajaan Tidore. Dua kekuatan telah berhadapan, namun belum terjadi pecah perang.

 

Untuk menyelesaikan persaingan antara Portugis dan Spanyol maka pada tahun 1529 diadakan Perjanjian Saragosa yang isinya bangsa Spanyol harus meninggalkan Maluku dan memusatkan kekuasaannya di Filipina dan bangsa Portugis tetap tinggal Maluku.

 

 

Untuk memperkuat kedudukannya di Maluku maka Portugis mendirikan Benteng Sao Paulo. Menurut Portugis benteng ini dibangun untuk melindungi Ternate dari serangan Tidore. Tindakan Portugis di Maluku makin merajalela dengan memonopoli perdagangan dan terlalu ikut campur tangan dalam urusan dalam negeri Ternate sehingga menimbulkan pertentangan.

 

 

Seorang Sultan Ternate yang menentang ialah Sultan Hairun (1550–1570). Untuk menyelesaikan pertentangan itu diadakan perundingan antara Ternate (Sultan Hairun) dan Portugis (Gubernur Lopez de Mesquita). Perdamaian dapat dicapai pada tanggal 27 Februari 1570. Namun, perundingan persahabatan itu hanyalah tipuan belaka. Pada pagi harinya (28 Februari) ketika Sultan Hairun berkunjung ke Benteng Sao Paulo, ia ditangkap dan dibunuh.

 

Atas kematian Sultan Hairun, rakyat Ternate bangkit menentang bangsa Portugis di bawah pimpinan Sultan Baabullah (putra dan pengganti Sultan Hairun). Setelah terkepung hampir selama lima tahun, Benteng Sao Paulo

 

Berhasil diduduki rakyat Ternate (1575). Orang-orang Portugis yang menyerah tidak dibunuh, tetapi harus meninggalkan Ternate. Mereka pun pindah ke Ambon, Maluku. Sultan Baabullah dapat meluaskan daerah kekuasaannya di Maluku. Daerah kekuasaannya terbentang antara Sulawesi dan Papua, ke arah timur sampai Papua,barat sampai ke Pulau Buton, utara sampai ke Mindanao Selatan (Filipina), selatan sampai ke Pulau Bima (Nusa Tenggara) sehingga ia mendapat julukan Tuan dari Tujuh Pulau Dua Pulau.

 

 

Pada abad ke-17, bangsa Belanda datang di Maluku dan segera terjadi persaingan antara Belanda dan Portugis. Belanda akhirnya berhasil menduduki benteng Portugis di Ambon dan dapat mengusir Portugis dari Maluku (1605).

 

Belanda yang tanpa ada saingan kemudian juga melakukan tindakan yang sewenang-wenang, seperti berikut ini.

 

  • Melaksanakan sistem penyerahan wajib sebagian hasil bumi (rempah-Rempah) kepada VOC (contingenten).

 

  • Adanya perintah penebangan/pemusnahan tanaman rempah-rempah jika harga rempah-rempah di pasaran turun (hak ekstirpasi) dan penanaman kembali secara serentak apabila harga rempah-rempah di pasaran naik/meningkat.

 

  • Mengadakan pelayaran Hongi (patroli laut), yakni sistem perondaan yang dilakukan oleh VOC dengan tujuan untuk mencegah timbulnya perdagangan gelap dan mengawasi pelaksanaan monopoli perdagangan di seluruh Maluku.

 

Tindakan-tindakan penindasan tersebut jelas membuat rakyat hidup terkenan dan menderita. Sebagai reaksinya rakyat Maluku bangkit mengangkat senjata melawan VOC. Pada tahun 1635–1646 rakyat di Kepulauan Hitu bangkit melawan VOC di bawah pimpinan Kakiali dan dilanjutkan oleh Telukabesi. Pada tahun 1650 rakyat Ambon dipimpin oleh Saidi melakukan perlawanan terhadap VOC. Demikian juga di daerah lain, seperti Seram, Haruku, dan Saparua juga terjadi perlawanan rakyat, tetapi semua perlawanan berhasil dipadamkan oleh VOC.

 

Sampai akhir abad ke-17 tidak ada lagi perlawanan besar, tetapi pada akhir abad ke-18 muncul lagi perlawanan besar yang mengguncangkan kekuasaan VOC di Maluku. Jika melawan Portugis Kasultanan dan rakyat Ternate yanga memegang peranan penting maka untuk melawan VOC sebaliknya, kasultanan dan rakyat Tidore yang memimpinnya. Pada Tahun 1780 rakyat Tidore bangkit melawan VOC di bawah pimpinan Sultan Nuku. Selanjutnya, Sultan Nuku juga berhasil menyatukan Ternate dengan Tidore. Setelah Sultan Nuku meninggal (1805), tidak ada lagi perlawaan yang kuat menentang VOC, maka mulailah VOC memperkokoh kekuasaannya kembali di Maluku. Perlawanan yang lebih dahsyat di Maluku baru muncul pada permulaan abad ke-19 di bawah pimpinan Pattimura.

 

Sumber:

 

Dwi Ari Listiyani. 2009. Sejarah 2 Untuk SMA/MA Kelas XI Program IPS. Jakarta:  Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.

 

Leo Agung S. Dan Dwi Ari Listiyani. 2003. Sejarah Nasional dan Umum 2. Surakarta: Sebelas Maret University Press.

 

Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. 1984. Sejarah Nasional Indonesia V dan VI. Jakarta: Balai Pustaka.

 

Nugroho Notosusanto. Dkk . 1992. Sejarah Nasional Indonesia 2 dan 3. Jakarta: Depdikbud.