Di Maluku yang terletak di antara
Sulawesi dan Papua terdapat dua kerajaan, yakni Ternate dan Tidore. Kedua
kerajaan ini terletak di sebelah barat Pulau Halmahera di Maluku Utara. Kedua
kerajaan itu pusatnya masing-masing di Pulau Ternate dan Tidore, tetapi wilayah
kekuasaannya mencakup sejumlah pulau di Kepulauan Maluku dan Papua.
Kerajaan Ternate sebagai pemimpin
Persekutuan Uli Lima, yaitu persekutuan lima bersaudara dengan wilayahnya
mencakup pulau-pulau Ternate, Obi, Bacan, Seram dan Ambon. Kerajaan Tidore
sebagai pemimpin Persekutuan Uli Siwa (persekutuan sembilan saudara) wilayahnya
meliputi pulau-pulau Makyan, Jailolo atau Halmahera, dan pulau-pulau di daerah
itu sampai dengan Papua Barat. Di antara keduanya saling terjadi persaingan dan
makin tampak setelah datangnya bangsa Barat.
Bangsa Barat yang pertama kali datang
di Maluku ialah Portugis (1512) yang bersekutu dengan Kerajaan Ternate. Jejak
ini diikuti oleh bangsa Spanyol yang berhasil mendarat di Maluku 1521 dan
mengadakan persekutuan dengan Kerajaan Tidore. Dua kekuatan telah berhadapan, namun
belum terjadi pecah perang.
Untuk menyelesaikan persaingan antara
Portugis dan Spanyol maka pada tahun 1529 diadakan Perjanjian Saragosa yang
isinya bangsa Spanyol harus meninggalkan Maluku dan memusatkan kekuasaannya di
Filipina dan bangsa Portugis tetap tinggal Maluku.
Untuk memperkuat kedudukannya di
Maluku maka Portugis mendirikan Benteng Sao Paulo. Menurut Portugis benteng ini
dibangun untuk melindungi Ternate dari serangan Tidore. Tindakan Portugis di
Maluku makin merajalela dengan memonopoli perdagangan dan terlalu ikut campur
tangan dalam urusan dalam negeri Ternate sehingga menimbulkan pertentangan.
Seorang Sultan Ternate yang menentang
ialah Sultan Hairun (1550–1570). Untuk menyelesaikan pertentangan itu diadakan
perundingan antara Ternate (Sultan Hairun) dan Portugis (Gubernur Lopez de
Mesquita). Perdamaian dapat dicapai pada tanggal 27 Februari 1570. Namun,
perundingan persahabatan itu hanyalah tipuan belaka. Pada pagi harinya (28
Februari) ketika Sultan Hairun berkunjung ke Benteng Sao Paulo, ia ditangkap
dan dibunuh.
Atas kematian Sultan Hairun, rakyat
Ternate bangkit menentang bangsa Portugis di bawah pimpinan Sultan Baabullah
(putra dan pengganti Sultan Hairun). Setelah terkepung hampir selama lima
tahun, Benteng Sao Paulo
Berhasil diduduki rakyat Ternate
(1575). Orang-orang Portugis yang menyerah tidak dibunuh, tetapi harus
meninggalkan Ternate. Mereka pun pindah ke Ambon, Maluku. Sultan Baabullah
dapat meluaskan daerah kekuasaannya di Maluku. Daerah kekuasaannya terbentang
antara Sulawesi dan Papua, ke arah timur sampai Papua,barat sampai ke Pulau
Buton, utara sampai ke Mindanao Selatan (Filipina), selatan sampai ke Pulau
Bima (Nusa Tenggara) sehingga ia mendapat julukan Tuan dari Tujuh Pulau Dua
Pulau.
Pada abad ke-17, bangsa Belanda datang di Maluku dan
segera terjadi persaingan antara Belanda dan Portugis. Belanda akhirnya
berhasil menduduki benteng Portugis di Ambon dan dapat mengusir Portugis dari
Maluku (1605).
Belanda yang tanpa ada saingan
kemudian juga melakukan tindakan yang sewenang-wenang, seperti berikut ini.
- Melaksanakan sistem penyerahan wajib sebagian hasil bumi (rempah-Rempah) kepada VOC (contingenten).
- Adanya perintah penebangan/pemusnahan tanaman rempah-rempah jika harga rempah-rempah di pasaran turun (hak ekstirpasi) dan penanaman kembali secara serentak apabila harga rempah-rempah di pasaran naik/meningkat.
- Mengadakan pelayaran Hongi (patroli laut), yakni sistem perondaan yang dilakukan oleh VOC dengan tujuan untuk mencegah timbulnya perdagangan gelap dan mengawasi pelaksanaan monopoli perdagangan di seluruh Maluku.
Tindakan-tindakan penindasan tersebut
jelas membuat rakyat hidup terkenan dan menderita. Sebagai reaksinya rakyat
Maluku bangkit mengangkat senjata melawan VOC. Pada tahun 1635–1646 rakyat di
Kepulauan Hitu bangkit melawan VOC di bawah pimpinan Kakiali dan dilanjutkan oleh
Telukabesi. Pada tahun 1650 rakyat Ambon dipimpin oleh Saidi melakukan
perlawanan terhadap VOC. Demikian juga di daerah lain, seperti Seram, Haruku,
dan Saparua juga terjadi perlawanan rakyat, tetapi semua perlawanan berhasil
dipadamkan oleh VOC.
Sampai akhir abad ke-17 tidak ada
lagi perlawanan besar, tetapi pada akhir abad ke-18 muncul lagi perlawanan
besar yang mengguncangkan kekuasaan VOC di Maluku. Jika melawan Portugis
Kasultanan dan rakyat Ternate yanga memegang peranan penting maka untuk melawan
VOC sebaliknya, kasultanan dan rakyat Tidore yang memimpinnya. Pada Tahun 1780
rakyat Tidore bangkit melawan VOC di bawah pimpinan Sultan Nuku. Selanjutnya,
Sultan Nuku juga berhasil menyatukan Ternate dengan Tidore. Setelah Sultan Nuku
meninggal (1805), tidak ada lagi perlawaan yang kuat menentang VOC, maka
mulailah VOC memperkokoh kekuasaannya kembali di Maluku. Perlawanan yang lebih
dahsyat di Maluku baru muncul pada permulaan abad ke-19 di bawah pimpinan
Pattimura.
Sumber:
Dwi Ari Listiyani.
2009. Sejarah 2 Untuk SMA/MA Kelas XI Program IPS. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen
Pendidikan Nasional.
Leo Agung S. Dan
Dwi Ari Listiyani. 2003. Sejarah Nasional dan Umum 2. Surakarta:
Sebelas Maret University Press.
Marwati Djoened
Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. 1984. Sejarah Nasional Indonesia V
dan VI. Jakarta: Balai Pustaka.
Nugroho
Notosusanto. Dkk . 1992. Sejarah Nasional Indonesia 2 dan 3. Jakarta:
Depdikbud.