Abstrak
Agama samawi ialah agama berasal dari
langit dan
didasarkan pada Tuhan
yang memberi
wahyu kepada rasul untuk umat manusia. Di Indonesia terdapat dua agama
samawi yang terkenal, yakni Islam dan Kristen. Kedua agama tersebut sering
mengalami ketidakharmonisan dalam bentuk penghinaan, kekerasan seksual, dan hujatan
pada kepercayaan
tertentu, maupun dalam bentuk kebengisan dan kekejian terhadap para penganutnya.
Oleh sebab itu, diperlukan cara untuk mencapai kerukunan antar umat beragama
tersebut melalui dialog agama dengan pendekatan mistisisme yang menjadi tujuan
penulisan ini. Penulisan ini mengaplikasikan metode sejarah yang memiliki empat
langkah,
yakni heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Dalam mistisisme
Kristen, sering terdapat konsep kontemplasi, di mana seseorang merenungkan
misteri iman Kristen dan mencari pengalaman langsung dengan Allah. Ini bisa
melibatkan pengalaman ekstasis spiritual di mana seseorang merasa terhubung
secara mendalam dengan Tuhan. Sementara dalam Islam, mistisisme dikenal sebagai
Tasawwuf atau Sufisme, yang merupakan gerakan spiritual dalam Islam yang
menekankan pengalaman langsung dengan Allah, pencarian kebijaksanaan spiritual,
dan pengembangan hubungan pribadi yang dalam dengan Tuhan. Kedua agama ini
memiliki konsep mistisisme sehingga dapat dilakukan pendekatan melalui dialog
antar umat beragama.
PENDAHULUAN
Agama memegang peranan penting dalam kehidupan
manusia. Melalui agama, manusia dapat mempelajari nilai-nilai moral, spiritual,
dan etika dalam berperilaku. Agama juga memberikan jawaban atas keingintahuan
dan kebutuhan manusia untuk memahami keberadaan dirinya dan makna kehidupan. Di
dunia yang ditinggali
oleh manusia, ada banyak agama yang dianut oleh
manusia, dan setiap agama memiliki karakteristik dan perbedaan yang unik. Salah satu contohnya adalah agama Samawi.
Agama samawi adalah agama yang diyakini sebagai
wahyu Tuhan yang turun dari langit. Agama ini diajarkan oleh para rasul kepada
manusia. Di Indonesia, terdapat dua agama samawi yang paling dikenal, yaitu
Islam dan Kristen.
Pada abad pertengahan,
pandangan keagamaan yang eksklusif menyebabkan pertikaian terhadap harga diri dan
derajat manusia. Ketegangan antara penganut agama, terutama Islam dan Kristen,
masih berlangsung sampai sekarang. Ini terjadi dalam bentuk penghinaan, kekerasan
seksual, dan hujatan terhadap ajaran spritual tertentu, serta kekejaman dan kesewenang-wenangan
terhadap para penganutnya. Perpecahan yang berlatar belakang agama tersebut masih terus berlangsung di berbagai tempat, menyebabkan korban dari setiap
penganut agama tersebut.
Salah satu kejadian pertikaian antara umat Islam dan
Kristen di Indonesia adalah kayu nisan berbentuk salib di peristirahatan terakhir Albertus
Slamet Sugihardi dibelah oleh warga RT 53 RW 13, Purbayan, Kotagede,
Yogyakarta, pada Senin 17 Desember 2018. Salib yang dipotong itu kemudian
menjadi perbincangan di komunitas virtual. Bejo Mulyono, tokoh masyarakat Purbayan,
mengatakan bahwa warga, keluarga almarhum, tokoh agama, dan tokoh masyarakat
telah menyetujui pemotongan salib dan melarang simbol-simbol agama Kristen di
pemakaman tersebut. Padahal pemakaman tersebut belum tentu akan digunakan
sebagai makam untuk warga muslim di masa depan. Pelaku pemotongan salib adalah
warga setempat yang hadir dalam proses pemakaman. (Putsanra, 2018).
Ketua KKPKC Yogyakarta,
Sumaryoto, memberikan perhatian terhadap peristiwa yang terjadi. Dalam
pernyataannya, ia menyebutkan bahwa sebelum peristiwa pemotongan salib terjadi,
telah terjadi dua peristiwa kekerasan lainnya. Beberapa warga dan pendatang
dari luar lingkungan melakukan kekerasan fisik dan intimidasi psikis. Namun,
tidak ada keterangan yang jelas tentang fenomena tersebut (Hadi, 2018).
Dari sinilah, sudah waktunya
bagi kita untuk mengadopsi paradigma baru yang melibatkan pemahaman yang lebih
kompleks terhadap agama-agama. Paradigma ini tidak lagi memandang agama dalam
kategori yang sederhana seperti hitam-putih, tetapi lebih fokus pada bagaimana
kita dapat memahami dan mendekati agama-agama lain dengan sikap yang ramah.
Tujuan dari pendekatan ini adalah untuk dapat memperoleh pengalaman keagamaan
dari para penganut agama tersebut, sehingga dapat meningkatkan pengetahuan dan
pengalaman agama kita sendiri. Pendekatan ini disebut passing over,
yaitu belajar dari perilaku dan peradaban agama lain, dan selanjutnya coming
back, yaitu mengambil kuantitas dari kejadian nyata tersebut untuk keberagamaan
kita sendiri. Namun, upaya ini tidak akan berhasil tanpa pandangan agama yang
komprehensif.
Oleh karena itu, diperlukan
adanya dialog antar agama Islam dan Kristen dengan pendekatan yang baru. Pendekatan
baru yang dimaksud adalah mempelajari perbandingan teologi dan mistisisme di
masing-masing agama secara vertikal, serta menekankan pada aplikasi teori dalam
isu-isu global dan tantangan internasional. Pendekatan ini lebih maju daripada
pendekatan konvensional dalam dialog antar agama. Tujuannya adalah menciptakan
landasan bersama yang berakar pada agama Abrahamik, bukan mereduksi agama Islam
atau Kristen. Pada akhirnya, masyarakat dapat hidup saling menghargai dan tidak
menjadi batu sandungan.
Berdasarkan latar belakang
tersebut, penulis ingin mendalami tentang dialog antar umat beragama samawi,
khususnya pada agama Islam dan Kristen dengan pendekatan mistisisme dalam
menjembatani kerukunan dan keharmonisan pada kedua agama tersebut. Selain itu,
penulisan ini diharapkan menjadi solusi dalam menyelesaikan ketegangan pada
umat beragama samawi, khususnya pemeluk kepercayaan Islam dan Kristen. Adapun pembeda penulisan ini dengan penulisan yang
sudah ada adalah kajian yang lebih mendalam mengenai solusi menyelesaikan
pertikaian antar umat beragama, khususnya menggunakan dialog antar agama dengan
menggunakan pendekatan mistisisme.
METODE
Penelitian ini menggunakan metode sejarah sebagai
pendekatan penulisan. Metode ini melibatkan pengujian, analisis, dan kajian
kritis terhadap buku-buku dan artikel ilmiah yang dipublikasikan melalui
literasi digital yang dapat dipercaya. Tujuannya adalah untuk memahami,
menganalisis, dan menginterpretasikan peristiwa dan proses sejarah secara
sistematis dan objektif. Metode sejarah harus dilakukan dengan ketat dan
objektif, dengan mempertimbangkan berbagai perspektif dan sumber informasi yang
mungkin mengandung bias atau tidak didasarkan pada fakta (Gottschalk, 1975). Tahapan
yang perlu diikuti dalam menggunakan metode sejarah adalah heuristik, kritik
sumber, interpretasi, dan historiografi.
Tahapan pertama dalam metode sejarah adalah heuristik
yang berarti seni atau ilmu untuk menemukan solusi atau solusi baru yang dapat
menyelesaikan masalah. Menurut sumber lain, heuristik adalah cara untuk
mengungkapkan pemikiran agar masalah dapat segera terselesaikan. Dalam konteks
sejarah, heuristik disebut metode penelitian yang melibatkan langkah-langkah
dalam mengumpulkan berbagai jenis data penelitian, seperti buku-buku dan
artikel ilmiah yang telah dipublikasi oleh penulis terdahulu. Jadi, heuristik
adalah aturan sederhana dan efektif yang digunakan manusia untuk membuat
penilaian dan mengambil keputusan.
Setelah sumber-sumber terkumpul, langkah selanjutnya
adalah melakukan kritik terhadapnya. Kritik ini sangat penting untuk memastikan
orisinalitas dan legalitas dari sumber tersebut, dengan demikian dapat
dijadikan sebagai data yang valid untuk menjawab pertanyaan penelitian.
Terutama dalam konteks sejarah, kritik terhadap sumber-sumber dilakukan untuk
memperoleh kepercayaan terhadap sumber yang akan digunakan. Verifikasi atau
kritik sumber sejarah penting dalam penelitian sejarah. Peneliti memeriksa dan
memverifikasi data sejarah yang digunakan (Abror, 2020).
Dalam tahap berikutnya, penulis akan melakukan interpretasi terhadap
sumber sejarah. Hal ini dapat menimbulkan subjektivitas dalam proses tersebut.
Secara umum, interpretasi merujuk pada suatu proses yang melibatkan pemberian
pendapat, kesan, gagasan, serta pandangan secara teoritis terhadap suatu objek
tertentu. Proses ini muncul dari ide yang mendalam dan dipengaruhi oleh latar
belakang individu yang menciptakan objek tersebut (Abror, 2020). Dengan
demikian, pengertian interpretasi dapat disimpulkan sebagai penafsiran yang
bertujuan untuk meningkatkan pemahaman terhadap sumber sejarah.
Tahap akhir dari metode sejarah dapat disebut sebagai historiografi.
Historiografi merupakan proses penulisan mengenai sejarah di mana data yang
telah digabungkan menjadi sebuah narasi sejarah. Pada tahap ini, penulis akan
mengungkapkan pemahaman dan interpretasi mereka mengenai peristiwa sejarah
dengan cara menganalisis naratif deskriptif yang logis dan dapat dipercaya
(Sumargono, 2021).
HASIL
DAN PEMBAHASAN
1.
Mistisisme dalam
Universal
Istilah
mistisisme berangkat dari istilah Yunani, mysterion yang bermakna rahasia.
Merujuk pada bahasa Indonesia, ada istilah misteri dan misterius yang bermakna
sesuatu yang tersembunyi atau rahasia. Agama memakai kata ini untuk menyatakan
pada ilmu yang dirahasikan dalam ikatan umat dengan Tuhannya (Ali, 2012). Wawasan
ini mempelajari ikatan tersembunyi dan individual subjektif antara umat dan
Tuhannya, yang tertanam dalam mistisisme. Oleh karena itu, mistisisme dapat
diartikan sebagai pengetahuan tersembunyi
dalam hubungan umat dan Tuhannya, yang melibatkan kalbu dan bersifat spiritual.
Karena sifatnya yang melibatkan kalbu, hubungan ini bersifat rahasia dan hanya
diketahui oleh manusia dan Tuhannya.
Mistikisme
juga mengimplikasikan bahwa pemahaman Tuhan dan kenyataan sejati hanya bisa
ditemukan melalui pemusatan pikiran dan refleksi kerohanian melintasi hati
nurani, bukan melalui respons indra (Agus, 2006). Mistik adalah penghayatan
individu terhadap agamanya yang esoteris, sedangkan tingkah laku lahiriah pada
ibadah yang tidak berdasarkan kejadian spritual atau mistis dalam dimensi
eksoteris.
Aspek
mistik tidak hanya terikat pada kejadian nyata yang dimana terhubung dengan
Tuhan, karena itu terlalu kecil dan hanya terlintas dengan pandangan
pantheisme. Selain itu, aspek keruhanian dan perasaan tidak harus diikat oleh
hubungan umat dengan Tuhan, tetapi juga mencakup semua perasaan yang timbul
dari keyakinan akan kekuasaan dan kasih sayang terhadap Tuhan. Setiap orang
beragama memiliki pengalaman mistisnya sendiri. Meskipun berbeda dalam
jalannya, cara, dan tahapannya, intinya tetap sama, yaitu pengetahuan
tersembunyi yang murni dengan Tuhan yang Maha Agung (Agus, 2006).
2.
Mistisisme dalam Agama
Kristen
Agama
Kristen adalah kepercayaan yang sangat personal dan berusaha menaikkan kualitas
ibadah kepada Tuhan yang lahir kembali dengan dimasukkan ajaran berisi trinitas
yang transpersonal. Pada agama Kristen, ikatan dengan Tuhan ditandai dengan kasih
sayang. Kasih sayang ini berarti bahwa rasa mementingkan diri sendiri telah
dihapuskan.
Pengalaman
mistis sering kali dianggap sebagai hasil dari upaya yang disengaja oleh orang
mistik dalam hati nuraninya sendiri. Paus Gregory mengatakan bahwa Tuhan tetap
tersembunyi dalam gelap gulita yang tak terjangkau. Ia memakai pemakaian kata
seperti awan, kabut, atau kehampaan untuk menggambarkan ketidakjelasan ilmu
manusia tentang Tuhan yang Maha Suci. Bagi Gregory, Tuhan adalah peristiwa
nyata yang menegangkan. Oleh karena itu, beliau menyampaikan bahwa manusia
tidak mampu mengetahui perilaku Tuhan. Kenyataan dalam wawasan manusia pada Tuhan adalah ketika umat itu tahu bahwa mereka
tidak dapat mampu mengetahui akan adanya Tuhan. Namun, Tuhan hanya dapat
dicapai melalui usaha pikiran yang gigih. Mendekati Tuhan penuh dengan rasa kesombongan,
tangis, dan kelelahan. Jiwa melakukan sesuatu selain rasa tangis karena
kerinduannya akan Tuhan. Benih kehidupan hanya menemukan kedamaian dalam tangis
karena kelelahan (Amstrong, 1993).
Orang
Kristen berkomunikasi dengan Tuhan melalui sinar yang hangat, sementara orang
Yunani melalui pengalaman sunyi seperti perenungan. Orang Yunani tidak
bergantung pada gambaran atau penampakan Tuhan, melainkan mencari kehadiran-Nya
melalui keheningan batin yang disebut hesychia.
Kristen
menciptakan metode-metode dalam berdoa untuk menemukan Tuhan. Berdoa
membebaskan jiwa dari raga dan menghasilkan energi yang bukan berasal dari hakikat
Tuhan. Energi cahaya keilahian disebut "glory" Tuhan dalam
Perjanjian Lama dan menyinari setiap orang yang diselamatkan dalam Perjanjian
Baru. Saat berdoa, manusia dapat merasakan energi ini sebagai komunikasi dengan
Tuhan, meskipun tetap ketersembunyiannya. Kristen Barat merepresentasikan Tuhan
melalui seni mistik ikon dan patung suci, yang terkena pengaruh Kristen Timur
untuk menghasilkan simbol dan visi yang saling memperkokoh. Simbol tersebut
membantu orang beriman memandang dunia ilahi sebagai jendela.
Pada era
renaisans, terjadi peningkatan kegiatan keagamaan mistik di Eropa Utara. Salah
satu tokoh yang terkenal adalah Meister Eckhart, yang berpendapat bahwa doktrin
trinitas sebenarnya memiliki sifat mistik. Menurutnya, doktrin ini tidak dapat
dipahami melalui akal pikiran semata, melainkan hanya dapat dipersepsikan oleh
akal budi. Seorang mistikus yang menyatu dengan Tuhan akan menyaksikan-Nya
sebagai satu kesatuan yang tunggal. Eckhart juga menggunakan analogi tentang
Tuhan Bapa yang menghasilkan Putra-Nya di dalam benih kehidupan, seperti anak
dara yang bernama Maria yang mengandung Kristus di pada rahimnya (Amstrong,
1993).
Bernard
dari Biara Clairvaux (1090-1153) diibaratkan sebagai perwakilan dari Mistisisme
Kristen yang menekankan pengalaman mistis sebagai dasar keimanan. Dalam
pandangan umum Kristen yang menekankan peran rasio, Bernard membuat kekristenan
menjadi lebih subjektif daripada objektif. Ia percaya bahwa pengalaman mistis
didasarkan pada iman yang dipahami untuk mengantisipasi keinginan, yang dibuat
oleh Roh ilahi. Kehidupan mistis ini kemudian mengkukuhkan keimanan seseorang
(Amstrong, 1993).
Bernard
memiliki tiga tahapan untuk memasuki dunia mistik. Tahap pertama adalah
mempertimbangkan, di mana ia melihat fenomena tersebut dari luar dan tetap
mempertahankan sudut pandang individunya. Tahapan kedua adalah merenungkan, di
mana individu tersebut terlibat secara aktif dalam gereja dan memasuki
kekudusan yang kudus. Tahap ketiga, excessus, adalah saat seseorang
melampaui batas dirinya. Ini dikenal sebagai raptus atau pencapaian luar
biasa. Pada tahap ini, manusia menyatu dengan keilahian seperti tetesan anggur
dalam segelas anggur. Individu tetap ada, tapi menjadi bagian dari keberadaan
ilahi. Identitas pribadi tidak hilang, tapi dijadikan partikel dari realitas Tuhan
(Amstrong, 1993).
Pemikiran
Bernard ini sangat mirip dengan pandangan Heraklitos terhadap rancangan Logos
dan logikosnya. Logikos merupakan cipratan Logos yang akan terbentuk kembali
menjadi sedia kala, yakni Logos utama. Buah pikir serupa juga timbul dalam
teori Monadologi Gotthold Wilhelm Leipniz. Paul Tillich berpendapat, Mistisisme
Konkrit dari Bernard masih terbatas pada tradisi Kristen, karena Paulus juga berteori
bahwa Tuhan akan menjadi semua dengan cara mengisi kekosongan ini (Armstrong,
1993).
3.
Mistisisme dalam Agama
Islam
Pembahasan
tentang mistisisme pada Islam (tasawuf) tidak akan berakhir. Tasawuf memiliki
kaitan dengan kebatinan dalam Islam. Bagi beberapa umat Islam, tasawuf dianggap
sebagai puncak kemuliaan. Tasawuf adalah dorongan jiwa untuk mencapai Yang tak
terbatas. Ini dijelaskan sebagai ajaran tasawuf untuk mencapai pemahaman yang
lebih mengenal tentang Allah (ma’rifatullah) sebagai berikut.
1)
Takhalli, yang merujuk pada tindakan membersihkan diri dari sifat-sifat
tercela, perbuatan maksiat yang tampak dan yang tersembunyi, atau mengosongkan
hati dari segala sesuatu selain Allah, memiliki makna yang penting dalam
konteks spiritualitas. Tindakan ini merupakan upaya untuk mencapai kesucian dan
kedekatan dengan Tuhan yang Maha Esa.
2)
Tahalli, berarti menghiasi diri dengan sikap yang baik, dengan patuh secara
lahir batin atau mengisi dan menghiasi hati dengan (kasih sayang) Allah.
3)
Tajalli, yang mengacu pada pengungkapan nur ghaib kepada hati atau
penghilangan tirai pemisah antara Yang Tunggal dan makhluk, dapat terjadi dalam
beberapa bentuk. Salah satunya adalah melalui kedekatan spiritual. Melalui
persatuan intelektual dan iluminasi visioner, misalnya mukasyafah, dan
isyraq, terjadi komunikasi yang merupakan bagian dari mistisisme Islam yang
moderat. Selain itu, tajalli juga dapat terjadi melalui hilangnya jati diri (fana')
pada sufisme, dapat sepadan dengan istilah wahdatul wujud atau dapat
disebut juga al hulul (Fakhry, 2002).
Namun, tasawuf dianggap sebagai penyimpangan dalam agama
dan sering dianggap sama dengan klenik atau bid'ah. Praktik
tasawuf telah mengalami penyimpangan dengan adanya pemujaan terhadap para wali,
melakukan gaya hidup miskin, dan terlalu berfokus mencari kehidupan
di akhirat.
Munculnya Wahabiyyah di Timur Tengah menunjukkan penyimpangan dalam melakukan
tasawuf. Gerakan ini menyebabkan konflik berkepanjangan dengan gerakan tasawuf
berlebihan. Praktik keagamaan yang berlebihan semakin memperburuk situasi.
Pertentangan antara kedua gerakan ini tidak memberikan kontribusi bagi dunia
Islam dan hanya memberikan catatan buruk bagi sejarah Islam.
Tasawuf telah menciptakan citra positif umat Islam di dunia. Para sufi
telah berkontribusi dalam menyebar luaskan agama Islam. Mereka berkolaborasi dengan
raja untuk menyebar luaskan tentang ajaran Islam, dan membawa ajaran Islam ke Sumatera
dan kepulauan Jawa hingga ke timur Indonesia, dan membangun kebudayaan dan sistem
sosial berdasarkan Islam di Indonesia. Mereka juga berani menghadapi penjajahan
Belanda tanpa rasa takut, sehingga menciptakan citra indah dari Islam Nusantara
(Azyumardi, 1995).
Sejarah mencatat bahwa penyebaran Islam di Nusantara dilaksanakan dengan
model yang damai dan penuh cinta oleh para walisongo. Ini memberikan
karakteristik dan identitas Islam diterima melalui dakwah damai dan nilai
kesetaraan, memudahkan penerimaan masyarakat dengan sukacita sehingga memeluk
agama ini. Selama melakukan dakwah, para walisongo selalu mengajarkan cara
hidup yang penuh cinta, dalam hubungan dengan Tuhan dan sesama makhluk, baik
secara vertikal maupun horizontal. Pola hidup yang dijadikan contoh dan
diajarkan oleh para walisongo didasarkan pada pola hidup yang sudah dipraktikkan
dan dibimbing oleh kelompok sufi terdahulu.
Sebagian besar mengira bahwa Islam selalu menyebar melalui peperangan atau
kekuasaan dinasti penguasa, namun pandangan ini tidak dapat dikatakan sebagai
kenyataan. Di India, Islam tidak hanya diterima melalui pasukan muslim yang
berwatak keras, tetapi juga melalui sekelompok sufi dan ulama yang menuju ke
India. Meskipun para pasukan tersebut memaksa penduduk India yang ditaklukkannya
untuk memeluk Islam, pendekatan kultural yang dilakukan oleh sekelompok ulama
dan sufi justru lebih efektif dalam menyebarkan ajaran Islam. Mereka mengajak
masyarakat India untuk mengenal kebenaran Islam dengan damai dan santun, dan
dakwah mereka yang mengangkat kebenaran Islam (Ahmed, 1990).
4.
Dialog Mistisisme
sebagai Alternatif Membangun Hubungan Antar Agama
Sejak agama muncul, konflik antar umat beragama ada. Namun, harapan
untuk kedamaian antar umat beragama tidak hilang pada sanubari setiap pemeluk
agama. Banyak orang percaya persatuan umat beragama adalah kunci keselamatan
manusia. Kerukunan ini sulit, tapi bukan tidak mungkin untuk mengembalikan
kerukunan antar umat beragama, termasuk di Indonesia.
Orang Islam dan Kristen perlu
menyadari kehendak Tuhan dalam perintah-Nya. Penafsiran ini adalah manifestasi
iman kita kepada-Nya. Langkah pertama adalah mengoreksi persepsi yang salah tentang
agama lain. Meskipun ada perbedaan mendasar antara kedua ajaran agama ini yang
tidak dapat disangkal, dialog antara pemeluk agama ini seharusnya tidak fokus
pada polemik doktrinal atau pandangan dari luar yang selalu diakhiri tanpa
solusi atau bahkan saling mengejek (Smith, 2008).
Tuhan memberikan agama untuk
kebaikan kaumnya melalui petunjuk dan bimbingan agama tersebut, manusia
diharapkan dapat mendapatkan petunjuk yang benar dalam kehidupan dan membuat kebudayaannya.
Agama diberikan untuk kebutuhan manusia, bukan sebaliknya. Agama bukanlah
tujuan, melainkan merupakan jalan yang harus ditempuh. Dengan bimbingan agama,
manusia dapat mendekat kepada Tuhan dan berharap akan mendapatkan keridhaan-Nya
melalui amal kebajikan yang memiliki dimensi manusia dengan Tuhan dan manusia
dengan manusia itu sendiri.
Dalam teologi dan ideologi,
keberadaan agama yang ideal telah disambut baik oleh pemeluknya. Individu
memiliki respon yang berbeda terhadap agama, dengan tiga kecenderungan yang
menonjol yaitu, mistik, profetik-ideologis, dan humanis-fungsional. Ketiganya
menekankan nilai-nilai kemanusiaan dan kebijakan hidup beragama yang mencakup
iman pada Tuhan dan perilaku baik terhadap sesama, serta perilaku yang
toleransi dan dapat menentukan baik buruknya suatu perbuatan.
Dalam kehidupan sosial dan politik,
keberagamaan tersebut menekankan orientasi kemanusiaan dan perlu mendapatkan
penghargaan serta penekanan yang tepat. Keberagamaan bijak harus berkomitmen
untuk menghormati dan menjaga martabat manusia, tanpa terhalang oleh pendapat yang didasarkan pada perasaan yang
berlebih-lebihan terhadap sesuatu. Jika sebuah agama sejatinya diturunkan untuk
kepentingan manusia, bukan sebaliknya. Salah satu indikator untuk menilai sikap
jiwanya beragama dengan baik atau buruk, adalah dalam menyelesaikan masalah
dengan memperhatikan ukuran dan bagian nilai-nilai kemanusiaan, bukan ideologi
dan sentimen kelompok tertentu.
Penelitian yang dilakukan oleh Caner
Dagli, membahas tentang pengaruh mistisisme Islam pada dialog antar agama
menunjukkan adanya aspek spiritual dalam tradisi Islam. Peran tersebut, lebih
efektif dalam memfasilitasi pertemuan antara umat Muslim dan Kristen. Dagli
berpendapat, orang suci dan hukama agama dapat berbagi ajaran Tuhan tentang
cinta dan kasih, serta mewujudkan keberiman tersebut dalam praktik sehari-hari.
Mistisisme dapat menjadi jembatan yang menghubungkan teori dan praktik dalam
dialog antara umat Muslim dan Kristen. Pendekatan esoteris-mistis menghilangkan
keretakan hubungan agama tersebut (El Ansary, Waleed, & Linnan, 2010).
Dialog antara Muslim dan Kristen
memiliki potensi yang sama seperti dialog antaragama dapat membentuk suatu
dialog yang efektif. Dialog mistik bisa informal antara sahabat atau formal dalam
pertemuan kelompok antaragama. Tujuan dari dialog ini adalah untuk mencapai
transformasi pribadi. Beberapa teolog, berpendapat bahwa Dialog sejati terjadi
saat agama saling terikat dalam pengalaman pribadi, spiritual, dan mistis (Panikkar,
1978).
Seorang percaya akan adanya mistik
biasanya merahasiakan pengalaman batinnya agar tidak disalahpahami dan
diabaikan oleh lingkungan yang mungkin bermusuhan dan berlawanan. Ini juga
berlaku dalam hubungan antaragama. Meskipun demikian, individu yang memiliki
dimensi batiniah iman harus tetap bertanggung jawab dalam tindakan praktis dan
realistis dengan sikap positif. Mereka yang berorientasi mistik atau spiritual
tidak boleh berpikir sempit, yaitu menghindari hal-hal spiritual dan mengatasi
masalah dengan satu solusi (Novayani, 2019).
Dialog antaragama dalam tasawuf atau
sufisme lebih erat dengan pemahaman intuitif atau nalar Irfani yang berfokus
pengalaman keagamaan yang saling dipahami dan tradisi agama lain. Berasumsi dan
bertindak secara cerdas terhadap keberagaman umat beragama mencerminkan tujuan
hidup yang jelas dan mentalitas
beragama. Sikap, perilaku, dan mentalitas religius tergambar jelas dalam dialog
antaragama (Abdullah, 2012).
Dalam al-Qur'an dan al-Kitab, banyak
ayat yang mengandung kasih kepada Tuhan dan tanggungjawab kepada Tuhan. Ketika
membaca al-Qur'an dimulai dengan menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih dan
Penyayang. Hal ini juga ada pada, kasih kepada Tuhan adalah yang pertama dan
terbesar dalam al-Kitab. Tema kasih dalam Kristen dan Islam ternyata ada dan
dikhususkan. Dalam mistisisme Kristen, bagi Yesus Kristus, kasih kepada sesama umatnya
sangatlah penting karena dengan kasih kepada Tuhan tidak bisa dianggap serius
jika kasih kepada sesama umatnya ditolak, dan kita harus mencintai mereka
meskipun mereka membenci kita. Kata "bersama" dalam kasih Tuhan
menyatakan pengakuan atas suatu fakta dalam al-Qur'an dan Alkitab yang secara
tersembunyi menunjukkan keinginan untuk saling bertatap muka, tidak hanya pada
luar, tetapi juga dari inti yang paling dalam (Williams, 2018).
Pendekatan mistisisme adalah pilihan
dalam dialog antar agama. Ini didukung oleh haluan dan sifat khas esoteris
mistisisme atau sufisme yang fokus pada dalam hati nurani seseorang. Ada pengetahuan
sufi dalam Islam dan pengetahuan mistikal dalam Kristen. Kedua jalan ini dapat
menjadi penghubung dalam dialog agama dan iman. Hampir semua agama memiliki kebiasaan
mistikal yang serupa. Sudut pandang mistisisme dalam agama-agama ini cenderung
lebih toleran, terbuka, dan adaptif terhadap faktor-faktor luar. Sejarah juga mencatatkan
bahwa mistisisme dalam kepercayaan ini memiliki sifat yang toleran, terbuka,
dan adaptif terhadap elemen-elemen luar tersebut.
5.
Penerapan Dialog Mistisisme
dalam Relasi Islam-Kristen di Indonesia
Dalam konteks ini, penting untuk
menekankan bahwa permasalahan yang sedang dibahas melibatkan berbagai isu
hukum, sosial, dan agama. Salah satu manfaat utama dari "A Common Word"
adalah kemampuannya untuk beradaptasi dengan konteks keberagaman Nusantara tanpa
terbatas pada satu pandangan saja (El
Ansary, Waleed, & Linnan, 2010). Sebaliknya, pendekatan yang digunakan
harus disesuaikan dengan keragaman masyarakat Indonesia.
Pluralitas agama dan keberagaman
paham keagamaan di Indonesia adalah fakta historis yang tak bisa disangkal.
Oleh karena itu, penting untuk berdialog teologis dan dialog karya atau sosial.
Ini diperlukan oleh kelompok tertentu yang ingin memahami kitab suci atau mampu
memahami bahasa agama yang kompleks dan penuh penghayatan, serta metafora yang
bermakna bagi umatnya. Sementara itu, dialog karya adalah bentuk komunikasi
bersama yang memperhatikan fenomena sosial dan keagamaan yang harus
diselesaikan secara bersama oleh seluruh umat beragama. Ada hal- hal yang masih
dipermasalahkan seperti, kemiskinan, kebodohan, bencana, kesejahteraan, dan
lainnya perlu menjadi perhatian utama dalam konteks ini (Qadir, 2013).
Nusantara yang memiliki keberagaman
dalam keyakinan dan sistem religi, suku, dan ras, menghadapi potensi konflik
antarkelompok. Untuk mengatasi konflik tersebut, berbagai tindakan telah
dilakukan di Indonesia. Salah satunya adalah melalui dialog antaragama, di mana
pemimpin agama dari berbagai kelompok diundang untuk berbicara terbuka dan
saling menghormati dalam menghadapi masalah yang menjadi tanggung jawab
bersama. Kementerian Hukum dan HAM Indonesia juga telah mengikutsertakan Kementerian
Agama, pemerintah lokal, dan masyarakat sipil dalam upaya meminimalkan bahaya
konflik. Pemimpin agama memiliki pengaruh yang signifikan dalam kehidupan
masyarakat Indonesia, oleh karena itu, mereka harus memberikan contoh tingkah
laku yang baik, terutama dalam menghormati tradisi dan praktik agama lain.
Selain itu, Kementerian Agama juga membentuk Satgas Toleransi yang bertugas mendorong
dialog antaragama dan memperbaiki hubungan persaudaraan yang berselisih paham
tentang kajian agama tertentu.
Pluralitas dapat didekati dari bawah
ke atas melalui keterlibatan gereja, masjid, dan anggota muda mereka.
Pendekatan ini lebih mudah dipahami oleh mayoritas orang Indonesia dan
mendukung upaya nonkonvensional yang mengutamakan Tuhan Maha Esa. Pengesahan dan
kerja sama di tingkat nasional dan regional akan membantu terwujudnya toleransi
antar umat beragama. Pendekatan ini dapat diterima oleh masyarakat progresif
dan konservatif. Pancasila mungkin menyarankan pergeseran menuju prinsip
berkompetisi dalam perbuatan baik dalam jangka panjang (El Ansary, Waleed,
& Linnan, 2010).
KESIMPULAN
Dengan pendekatan mistisisme,
hubungan antar umat beragama dapat dipererat karena setiap agama mengajarkan
penghambaan kepada Tuhan dan cinta kasih terhadap sesama makhluk. Penganut
agama diharapkan saling membuka diri dan tidak bertikai dengan sesama karena
tujuan mereka sama, yaitu menuju Tuhan. Mistisisme dalam tasawwuf Islam juga
ada pada agama lain, seperti kristen. Internalisasi nilai-nilai spiritual dalam
interaksi sosial sangat penting untuk menciptakan kedamaian dan cinta kasih
antar umat beragama. Untuk menyatukan Islam dan Kristen dalam mistisisme,
saling memahami dan sensitif terhadap prinsip-prinsip agama lain sangat
penting. Namun, fokus pada aspek spiritual tidak boleh mengarah pada
konvergensi pikiran dan kebebasan dari hal-hal spiritual. Ini akan
memfasilitasi dialog yang saling menghormati dan terbuka antara kedua agama.
Pluralitas agama di Indonesia harus
dihargai dengan sikap bijaksana, toleran, dan mengendalikan diri terhadap
perbedaan agama. Kebebasan untuk beragama harus menggambarkan keadaan hidup,
perilaku, dan mentalitas beragama dengan berserah diri kepada Tuhan Yang Maha
Esa dan menjaga ikatan yang serasi antara umat beragama melalui dasar
kepercayaan kepada Tuhan.
Dalam upaya menjalankan dialog
mistisisme yang bermanfaat, penting untuk melibatkan individu yang memiliki
kompetensi dalam kedua agama dan bersedia untuk mendengarkan dengan sikap
terbuka, menghormati perbedaan, serta mencari kesamaan. Dengan demikian, dialog
mistisisme dapat menjadi sarana yang efektif dalam mempromosikan pemahaman dan
perdamaian antara komunitas Muslim dan Kristen.
DAFTAR RUJUKAN
Abdullah. 2012. Islamic Studies di
Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Abror. 2020. Cara Tepat Melakukan
Penelitian Sejarah. Jakarta: Republika.
Agus. 2006. Agama dalam Kehidupan
Manusia. Jakarta: Raja Grafindo.
Akbar Ahmed. 1990. Citra Islam:
Tinjauan Sejarah dan Sosiologi, (Terjemahan oleh Nunding Ram). Jakarta:
Erlangga.
Armstrong. 1993. Sejarah Tuhan. Bandung:
Mizan.
Azyumardi. 1995. Jaringan Ulama Timur
Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung: Mizan.
El Ansary, Waleed, & Linnan. 2010. Muslim
and Christian: Understanding, Theory, and Application of “A Common Word”.
New York: Palgrave Macmillan.
Gottschalk. 1975. Paham sejarah melalui
metode sejarah. (Terjemahan: Notosoesanto). Jakarta: Yayasan Universitas
Indonesia.
Hadi. 2019. Dua Peristiwa Sebelum
Pemotongan Nisan Salib. (Online). (https://tempo.com), diakses pada tanggal
25 Oktober 2023.
Majid Fakhry. 2002. Sejarah Filsafat
Islam: Sebuah Peta Kronologis, (Terjemahan
oleh Zaimul Am). Bandung: Mizan.
Novayani. 2019. Pendekatan Studi Islam
“Pendekatan Fenomenologi Dalam Kajian Islam”. Rejusta: Academic Journal,
3(1), 44–58.
Panikkar. 1978. The Intrareligious
Dialogue. Los Angeles: Paulist Press.
Putsanra. 2019. Duduk Perkara
Pemotongan Nisan Salib di Makam Purbayan Yogyakarta. (Online).
(https://tirto.id), diakses pada tanggal 25 Oktober 2023.
Qadir. 2013. Agama-Agama dan Nilai
Kemanusian. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.
Rainer. 2004. Metodologi Penulisan
Sejarah. Jakarta: Gagas Media.
Smith. 2008. The Religions of Man,
(Terjemahan oleh Saafroedin Bahar). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Sumargono. 2021. Metodologi Penelitian
Sejarah. Klaten: Lakeisha.
Suril Ali. 2012. Sufisme dan
Pluralisme. Jakarta : Gramedia.
Williams. 2018. The Future of
Interfaith Dialogue: Muslim–Christian Encounters through A Common Word. UK:
Cambridge University Press.



