DIALOG MISTISISME PADA AGAMA SAMAWI SEBAGAI SOLUSI MENUJU KEHARMONISAN ANTAR UMAT BERAGAMA | ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (ARDI TRI YUWONO)
Gunakan fitur "search my site" untuk mencari artikel yang anda inginkan
 

Minggu, 03 Desember 2023

DIALOG MISTISISME PADA AGAMA SAMAWI SEBAGAI SOLUSI MENUJU KEHARMONISAN ANTAR UMAT BERAGAMA

 

Abstrak

Agama samawi ialah agama berasal dari langit dan didasarkan pada Tuhan yang memberi wahyu kepada rasul untuk umat manusia. Di Indonesia terdapat dua agama samawi yang terkenal, yakni Islam dan Kristen. Kedua agama tersebut sering mengalami ketidakharmonisan dalam bentuk penghinaan, kekerasan seksual, dan hujatan pada kepercayaan tertentu, maupun dalam bentuk kebengisan dan kekejian terhadap para penganutnya. Oleh sebab itu, diperlukan cara untuk mencapai kerukunan antar umat beragama tersebut melalui dialog agama dengan pendekatan mistisisme yang menjadi tujuan penulisan ini. Penulisan ini mengaplikasikan metode sejarah yang memiliki empat langkah, yakni heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Dalam mistisisme Kristen, sering terdapat konsep kontemplasi, di mana seseorang merenungkan misteri iman Kristen dan mencari pengalaman langsung dengan Allah. Ini bisa melibatkan pengalaman ekstasis spiritual di mana seseorang merasa terhubung secara mendalam dengan Tuhan. Sementara dalam Islam, mistisisme dikenal sebagai Tasawwuf atau Sufisme, yang merupakan gerakan spiritual dalam Islam yang menekankan pengalaman langsung dengan Allah, pencarian kebijaksanaan spiritual, dan pengembangan hubungan pribadi yang dalam dengan Tuhan. Kedua agama ini memiliki konsep mistisisme sehingga dapat dilakukan pendekatan melalui dialog antar umat beragama.


PENDAHULUAN

Agama memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Melalui agama, manusia dapat mempelajari nilai-nilai moral, spiritual, dan etika dalam berperilaku. Agama juga memberikan jawaban atas keingintahuan dan kebutuhan manusia untuk memahami keberadaan dirinya dan makna kehidupan. Di dunia yang ditinggali oleh manusia, ada banyak agama yang dianut oleh manusia, dan setiap agama memiliki karakteristik dan perbedaan yang unik. Salah satu contohnya adalah agama Samawi.

Agama samawi adalah agama yang diyakini sebagai wahyu Tuhan yang turun dari langit. Agama ini diajarkan oleh para rasul kepada manusia. Di Indonesia, terdapat dua agama samawi yang paling dikenal, yaitu Islam dan Kristen.

Pada abad pertengahan, pandangan keagamaan yang eksklusif menyebabkan pertikaian terhadap harga diri dan derajat manusia. Ketegangan antara penganut agama, terutama Islam dan Kristen, masih berlangsung sampai sekarang. Ini terjadi dalam bentuk penghinaan, kekerasan seksual, dan hujatan terhadap ajaran spritual tertentu, serta kekejaman dan kesewenang-wenangan terhadap para penganutnya. Perpecahan yang berlatar belakang agama tersebut masih terus berlangsung di berbagai tempat, menyebabkan korban dari setiap penganut agama tersebut.

Salah satu kejadian pertikaian antara umat Islam dan Kristen di Indonesia adalah kayu nisan berbentuk salib di peristirahatan terakhir Albertus Slamet Sugihardi dibelah oleh warga RT 53 RW 13, Purbayan, Kotagede, Yogyakarta, pada Senin 17 Desember 2018. Salib yang dipotong itu kemudian menjadi perbincangan di komunitas virtual. Bejo Mulyono, tokoh masyarakat Purbayan, mengatakan bahwa warga, keluarga almarhum, tokoh agama, dan tokoh masyarakat telah menyetujui pemotongan salib dan melarang simbol-simbol agama Kristen di pemakaman tersebut. Padahal pemakaman tersebut belum tentu akan digunakan sebagai makam untuk warga muslim di masa depan. Pelaku pemotongan salib adalah warga setempat yang hadir dalam proses pemakaman. (Putsanra, 2018).

Ketua KKPKC Yogyakarta, Sumaryoto, memberikan perhatian terhadap peristiwa yang terjadi. Dalam pernyataannya, ia menyebutkan bahwa sebelum peristiwa pemotongan salib terjadi, telah terjadi dua peristiwa kekerasan lainnya. Beberapa warga dan pendatang dari luar lingkungan melakukan kekerasan fisik dan intimidasi psikis. Namun, tidak ada keterangan yang jelas tentang fenomena tersebut (Hadi, 2018).

Dari sinilah, sudah waktunya bagi kita untuk mengadopsi paradigma baru yang melibatkan pemahaman yang lebih kompleks terhadap agama-agama. Paradigma ini tidak lagi memandang agama dalam kategori yang sederhana seperti hitam-putih, tetapi lebih fokus pada bagaimana kita dapat memahami dan mendekati agama-agama lain dengan sikap yang ramah. Tujuan dari pendekatan ini adalah untuk dapat memperoleh pengalaman keagamaan dari para penganut agama tersebut, sehingga dapat meningkatkan pengetahuan dan pengalaman agama kita sendiri. Pendekatan ini disebut passing over, yaitu belajar dari perilaku dan peradaban agama lain, dan selanjutnya coming back, yaitu mengambil kuantitas dari kejadian nyata tersebut untuk keberagamaan kita sendiri. Namun, upaya ini tidak akan berhasil tanpa pandangan agama yang komprehensif.

Oleh karena itu, diperlukan adanya dialog antar agama Islam dan Kristen dengan pendekatan yang baru. Pendekatan baru yang dimaksud adalah mempelajari perbandingan teologi dan mistisisme di masing-masing agama secara vertikal, serta menekankan pada aplikasi teori dalam isu-isu global dan tantangan internasional. Pendekatan ini lebih maju daripada pendekatan konvensional dalam dialog antar agama. Tujuannya adalah menciptakan landasan bersama yang berakar pada agama Abrahamik, bukan mereduksi agama Islam atau Kristen. Pada akhirnya, masyarakat dapat hidup saling menghargai dan tidak menjadi batu sandungan.

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis ingin mendalami tentang dialog antar umat beragama samawi, khususnya pada agama Islam dan Kristen dengan pendekatan mistisisme dalam menjembatani kerukunan dan keharmonisan pada kedua agama tersebut. Selain itu, penulisan ini diharapkan menjadi solusi dalam menyelesaikan ketegangan pada umat beragama samawi, khususnya pemeluk kepercayaan Islam dan Kristen. Adapun pembeda penulisan ini dengan penulisan yang sudah ada adalah kajian yang lebih mendalam mengenai solusi menyelesaikan pertikaian antar umat beragama, khususnya menggunakan dialog antar agama dengan menggunakan pendekatan mistisisme.


METODE

Penelitian ini menggunakan metode sejarah sebagai pendekatan penulisan. Metode ini melibatkan pengujian, analisis, dan kajian kritis terhadap buku-buku dan artikel ilmiah yang dipublikasikan melalui literasi digital yang dapat dipercaya. Tujuannya adalah untuk memahami, menganalisis, dan menginterpretasikan peristiwa dan proses sejarah secara sistematis dan objektif. Metode sejarah harus dilakukan dengan ketat dan objektif, dengan mempertimbangkan berbagai perspektif dan sumber informasi yang mungkin mengandung bias atau tidak didasarkan pada fakta (Gottschalk, 1975). Tahapan yang perlu diikuti dalam menggunakan metode sejarah adalah heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi.

Tahapan pertama dalam metode sejarah adalah heuristik yang berarti seni atau ilmu untuk menemukan solusi atau solusi baru yang dapat menyelesaikan masalah. Menurut sumber lain, heuristik adalah cara untuk mengungkapkan pemikiran agar masalah dapat segera terselesaikan. Dalam konteks sejarah, heuristik disebut metode penelitian yang melibatkan langkah-langkah dalam mengumpulkan berbagai jenis data penelitian, seperti buku-buku dan artikel ilmiah yang telah dipublikasi oleh penulis terdahulu. Jadi, heuristik adalah aturan sederhana dan efektif yang digunakan manusia untuk membuat penilaian dan mengambil keputusan.

Setelah sumber-sumber terkumpul, langkah selanjutnya adalah melakukan kritik terhadapnya. Kritik ini sangat penting untuk memastikan orisinalitas dan legalitas dari sumber tersebut, dengan demikian dapat dijadikan sebagai data yang valid untuk menjawab pertanyaan penelitian. Terutama dalam konteks sejarah, kritik terhadap sumber-sumber dilakukan untuk memperoleh kepercayaan terhadap sumber yang akan digunakan. Verifikasi atau kritik sumber sejarah penting dalam penelitian sejarah. Peneliti memeriksa dan memverifikasi data sejarah yang digunakan (Abror, 2020).

Dalam tahap berikutnya, penulis akan melakukan interpretasi terhadap sumber sejarah. Hal ini dapat menimbulkan subjektivitas dalam proses tersebut. Secara umum, interpretasi merujuk pada suatu proses yang melibatkan pemberian pendapat, kesan, gagasan, serta pandangan secara teoritis terhadap suatu objek tertentu. Proses ini muncul dari ide yang mendalam dan dipengaruhi oleh latar belakang individu yang menciptakan objek tersebut (Abror, 2020). Dengan demikian, pengertian interpretasi dapat disimpulkan sebagai penafsiran yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman terhadap sumber sejarah.

Tahap akhir dari metode sejarah dapat disebut sebagai historiografi. Historiografi merupakan proses penulisan mengenai sejarah di mana data yang telah digabungkan menjadi sebuah narasi sejarah. Pada tahap ini, penulis akan mengungkapkan pemahaman dan interpretasi mereka mengenai peristiwa sejarah dengan cara menganalisis naratif deskriptif yang logis dan dapat dipercaya (Sumargono, 2021).


HASIL DAN PEMBAHASAN

1.    Mistisisme dalam Universal

Istilah mistisisme berangkat dari istilah Yunani, mysterion yang bermakna rahasia. Merujuk pada bahasa Indonesia, ada istilah misteri dan misterius yang bermakna sesuatu yang tersembunyi atau rahasia. Agama memakai kata ini untuk menyatakan pada ilmu yang dirahasikan dalam ikatan umat dengan Tuhannya (Ali, 2012). Wawasan ini mempelajari ikatan tersembunyi dan individual subjektif antara umat dan Tuhannya, yang tertanam dalam mistisisme. Oleh karena itu, mistisisme dapat diartikan sebagai  pengetahuan tersembunyi dalam hubungan umat dan Tuhannya, yang melibatkan kalbu dan bersifat spiritual. Karena sifatnya yang melibatkan kalbu, hubungan ini bersifat rahasia dan hanya diketahui oleh manusia dan Tuhannya.

Mistikisme juga mengimplikasikan bahwa pemahaman Tuhan dan kenyataan sejati hanya bisa ditemukan melalui pemusatan pikiran dan refleksi kerohanian melintasi hati nurani, bukan melalui respons indra (Agus, 2006). Mistik adalah penghayatan individu terhadap agamanya yang esoteris, sedangkan tingkah laku lahiriah pada ibadah yang tidak berdasarkan kejadian spritual atau mistis dalam dimensi eksoteris.

Aspek mistik tidak hanya terikat pada kejadian nyata yang dimana terhubung dengan Tuhan, karena itu terlalu kecil dan hanya terlintas dengan pandangan pantheisme. Selain itu, aspek keruhanian dan perasaan tidak harus diikat oleh hubungan umat dengan Tuhan, tetapi juga mencakup semua perasaan yang timbul dari keyakinan akan kekuasaan dan kasih sayang terhadap Tuhan. Setiap orang beragama memiliki pengalaman mistisnya sendiri. Meskipun berbeda dalam jalannya, cara, dan tahapannya, intinya tetap sama, yaitu pengetahuan tersembunyi yang murni dengan Tuhan yang Maha Agung (Agus, 2006).

 

2.    Mistisisme dalam Agama Kristen

Agama Kristen adalah kepercayaan yang sangat personal dan berusaha menaikkan kualitas ibadah kepada Tuhan yang lahir kembali dengan dimasukkan ajaran berisi trinitas yang transpersonal. Pada agama Kristen, ikatan dengan Tuhan ditandai dengan kasih sayang. Kasih sayang ini berarti bahwa rasa mementingkan diri sendiri telah dihapuskan.

Pengalaman mistis sering kali dianggap sebagai hasil dari upaya yang disengaja oleh orang mistik dalam hati nuraninya sendiri. Paus Gregory mengatakan bahwa Tuhan tetap tersembunyi dalam gelap gulita yang tak terjangkau. Ia memakai pemakaian kata seperti awan, kabut, atau kehampaan untuk menggambarkan ketidakjelasan ilmu manusia tentang Tuhan yang Maha Suci. Bagi Gregory, Tuhan adalah peristiwa nyata yang menegangkan. Oleh karena itu, beliau menyampaikan bahwa manusia tidak mampu mengetahui perilaku Tuhan. Kenyataan dalam wawasan manusia pada  Tuhan adalah ketika umat itu tahu bahwa mereka tidak dapat mampu mengetahui akan adanya Tuhan. Namun, Tuhan hanya dapat dicapai melalui usaha pikiran yang gigih. Mendekati Tuhan penuh dengan rasa kesombongan, tangis, dan kelelahan. Jiwa melakukan sesuatu selain rasa tangis karena kerinduannya akan Tuhan. Benih kehidupan hanya menemukan kedamaian dalam tangis karena kelelahan (Amstrong, 1993).

Orang Kristen berkomunikasi dengan Tuhan melalui sinar yang hangat, sementara orang Yunani melalui pengalaman sunyi seperti perenungan. Orang Yunani tidak bergantung pada gambaran atau penampakan Tuhan, melainkan mencari kehadiran-Nya melalui keheningan batin yang disebut hesychia.

Kristen menciptakan metode-metode dalam berdoa untuk menemukan Tuhan. Berdoa membebaskan jiwa dari raga dan menghasilkan energi yang bukan berasal dari hakikat Tuhan. Energi cahaya keilahian disebut "glory" Tuhan dalam Perjanjian Lama dan menyinari setiap orang yang diselamatkan dalam Perjanjian Baru. Saat berdoa, manusia dapat merasakan energi ini sebagai komunikasi dengan Tuhan, meskipun tetap ketersembunyiannya. Kristen Barat merepresentasikan Tuhan melalui seni mistik ikon dan patung suci, yang terkena pengaruh Kristen Timur untuk menghasilkan simbol dan visi yang saling memperkokoh. Simbol tersebut membantu orang beriman memandang dunia ilahi sebagai jendela.

Pada era renaisans, terjadi peningkatan kegiatan keagamaan mistik di Eropa Utara. Salah satu tokoh yang terkenal adalah Meister Eckhart, yang berpendapat bahwa doktrin trinitas sebenarnya memiliki sifat mistik. Menurutnya, doktrin ini tidak dapat dipahami melalui akal pikiran semata, melainkan hanya dapat dipersepsikan oleh akal budi. Seorang mistikus yang menyatu dengan Tuhan akan menyaksikan-Nya sebagai satu kesatuan yang tunggal. Eckhart juga menggunakan analogi tentang Tuhan Bapa yang menghasilkan Putra-Nya di dalam benih kehidupan, seperti anak dara yang bernama Maria yang mengandung Kristus di pada rahimnya (Amstrong, 1993).

Bernard dari Biara Clairvaux (1090-1153) diibaratkan sebagai perwakilan dari Mistisisme Kristen yang menekankan pengalaman mistis sebagai dasar keimanan. Dalam pandangan umum Kristen yang menekankan peran rasio, Bernard membuat kekristenan menjadi lebih subjektif daripada objektif. Ia percaya bahwa pengalaman mistis didasarkan pada iman yang dipahami untuk mengantisipasi keinginan, yang dibuat oleh Roh ilahi. Kehidupan mistis ini kemudian mengkukuhkan keimanan seseorang (Amstrong, 1993).

Bernard memiliki tiga tahapan untuk memasuki dunia mistik. Tahap pertama adalah mempertimbangkan, di mana ia melihat fenomena tersebut dari luar dan tetap mempertahankan sudut pandang individunya. Tahapan kedua adalah merenungkan, di mana individu tersebut terlibat secara aktif dalam gereja dan memasuki kekudusan yang kudus. Tahap ketiga, excessus, adalah saat seseorang melampaui batas dirinya. Ini dikenal sebagai raptus atau pencapaian luar biasa. Pada tahap ini, manusia menyatu dengan keilahian seperti tetesan anggur dalam segelas anggur. Individu tetap ada, tapi menjadi bagian dari keberadaan ilahi. Identitas pribadi tidak hilang, tapi dijadikan partikel dari realitas Tuhan (Amstrong, 1993).

Pemikiran Bernard ini sangat mirip dengan pandangan Heraklitos terhadap rancangan Logos dan logikosnya. Logikos merupakan cipratan Logos yang akan terbentuk kembali menjadi sedia kala, yakni Logos utama. Buah pikir serupa juga timbul dalam teori Monadologi Gotthold Wilhelm Leipniz. Paul Tillich berpendapat, Mistisisme Konkrit dari Bernard masih terbatas pada tradisi Kristen, karena Paulus juga berteori bahwa Tuhan akan menjadi semua dengan cara mengisi kekosongan ini (Armstrong, 1993).

 

3.    Mistisisme dalam Agama Islam

Pembahasan tentang mistisisme pada Islam (tasawuf) tidak akan berakhir. Tasawuf memiliki kaitan dengan kebatinan dalam Islam. Bagi beberapa umat Islam, tasawuf dianggap sebagai puncak kemuliaan. Tasawuf adalah dorongan jiwa untuk mencapai Yang tak terbatas. Ini dijelaskan sebagai ajaran tasawuf untuk mencapai pemahaman yang lebih mengenal tentang Allah (ma’rifatullah) sebagai berikut.

1)      Takhalli, yang merujuk pada tindakan membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, perbuatan maksiat yang tampak dan yang tersembunyi, atau mengosongkan hati dari segala sesuatu selain Allah, memiliki makna yang penting dalam konteks spiritualitas. Tindakan ini merupakan upaya untuk mencapai kesucian dan kedekatan dengan Tuhan yang Maha Esa.

2)      Tahalli, berarti menghiasi diri dengan sikap yang baik, dengan patuh secara lahir batin atau mengisi dan menghiasi hati dengan (kasih sayang) Allah.

3)      Tajalli, yang mengacu pada pengungkapan nur ghaib kepada hati atau penghilangan tirai pemisah antara Yang Tunggal dan makhluk, dapat terjadi dalam beberapa bentuk. Salah satunya adalah melalui kedekatan spiritual. Melalui persatuan intelektual dan iluminasi visioner, misalnya mukasyafah, dan isyraq, terjadi komunikasi yang merupakan bagian dari mistisisme Islam yang moderat. Selain itu, tajalli juga dapat terjadi melalui hilangnya jati diri (fana') pada sufisme, dapat sepadan dengan istilah wahdatul wujud atau dapat disebut juga al hulul (Fakhry, 2002).

Namun, tasawuf dianggap sebagai penyimpangan dalam agama dan sering dianggap sama dengan klenik atau bid'ah. Praktik tasawuf telah mengalami penyimpangan dengan adanya pemujaan terhadap para wali, melakukan gaya hidup miskin, dan terlalu berfokus mencari kehidupan di akhirat.

Munculnya Wahabiyyah di Timur Tengah menunjukkan penyimpangan dalam melakukan tasawuf. Gerakan ini menyebabkan konflik berkepanjangan dengan gerakan tasawuf berlebihan. Praktik keagamaan yang berlebihan semakin memperburuk situasi. Pertentangan antara kedua gerakan ini tidak memberikan kontribusi bagi dunia Islam dan hanya memberikan catatan buruk bagi sejarah Islam.

Tasawuf telah menciptakan citra positif umat Islam di dunia. Para sufi telah berkontribusi dalam menyebar luaskan agama Islam. Mereka berkolaborasi dengan raja untuk menyebar luaskan tentang ajaran Islam, dan membawa ajaran Islam ke Sumatera dan kepulauan Jawa hingga ke timur Indonesia, dan membangun kebudayaan dan sistem sosial berdasarkan Islam di Indonesia. Mereka juga berani menghadapi penjajahan Belanda tanpa rasa takut, sehingga menciptakan citra indah dari Islam Nusantara (Azyumardi, 1995).

Sejarah mencatat bahwa penyebaran Islam di Nusantara dilaksanakan dengan model yang damai dan penuh cinta oleh para walisongo. Ini memberikan karakteristik dan identitas Islam diterima melalui dakwah damai dan nilai kesetaraan, memudahkan penerimaan masyarakat dengan sukacita sehingga memeluk agama ini. Selama melakukan dakwah, para walisongo selalu mengajarkan cara hidup yang penuh cinta, dalam hubungan dengan Tuhan dan sesama makhluk, baik secara vertikal maupun horizontal. Pola hidup yang dijadikan contoh dan diajarkan oleh para walisongo didasarkan pada pola hidup yang sudah dipraktikkan dan dibimbing oleh kelompok sufi terdahulu.

Sebagian besar mengira bahwa Islam selalu menyebar melalui peperangan atau kekuasaan dinasti penguasa, namun pandangan ini tidak dapat dikatakan sebagai kenyataan. Di India, Islam tidak hanya diterima melalui pasukan muslim yang berwatak keras, tetapi juga melalui sekelompok sufi dan ulama yang menuju ke India. Meskipun para pasukan tersebut memaksa penduduk India yang ditaklukkannya untuk memeluk Islam, pendekatan kultural yang dilakukan oleh sekelompok ulama dan sufi justru lebih efektif dalam menyebarkan ajaran Islam. Mereka mengajak masyarakat India untuk mengenal kebenaran Islam dengan damai dan santun, dan dakwah mereka yang mengangkat kebenaran Islam (Ahmed, 1990).

 

4.    Dialog Mistisisme sebagai Alternatif Membangun Hubungan Antar Agama

 Sejak agama muncul, konflik antar umat beragama ada. Namun, harapan untuk kedamaian antar umat beragama tidak hilang pada sanubari setiap pemeluk agama. Banyak orang percaya persatuan umat beragama adalah kunci keselamatan manusia. Kerukunan ini sulit, tapi bukan tidak mungkin untuk mengembalikan kerukunan antar umat beragama, termasuk di Indonesia.

Orang Islam dan Kristen perlu menyadari kehendak Tuhan dalam perintah-Nya. Penafsiran ini adalah manifestasi iman kita kepada-Nya. Langkah pertama adalah mengoreksi persepsi yang salah tentang agama lain. Meskipun ada perbedaan mendasar antara kedua ajaran agama ini yang tidak dapat disangkal, dialog antara pemeluk agama ini seharusnya tidak fokus pada polemik doktrinal atau pandangan dari luar yang selalu diakhiri tanpa solusi atau bahkan saling mengejek (Smith, 2008).

Tuhan memberikan agama untuk kebaikan kaumnya melalui petunjuk dan bimbingan agama tersebut, manusia diharapkan dapat mendapatkan petunjuk yang benar dalam kehidupan dan membuat kebudayaannya. Agama diberikan untuk kebutuhan manusia, bukan sebaliknya. Agama bukanlah tujuan, melainkan merupakan jalan yang harus ditempuh. Dengan bimbingan agama, manusia dapat mendekat kepada Tuhan dan berharap akan mendapatkan keridhaan-Nya melalui amal kebajikan yang memiliki dimensi manusia dengan Tuhan dan manusia dengan manusia itu sendiri.

Dalam teologi dan ideologi, keberadaan agama yang ideal telah disambut baik oleh pemeluknya. Individu memiliki respon yang berbeda terhadap agama, dengan tiga kecenderungan yang menonjol yaitu, mistik, profetik-ideologis, dan humanis-fungsional. Ketiganya menekankan nilai-nilai kemanusiaan dan kebijakan hidup beragama yang mencakup iman pada Tuhan dan perilaku baik terhadap sesama, serta perilaku yang toleransi dan dapat menentukan baik buruknya suatu perbuatan.

Dalam kehidupan sosial dan politik, keberagamaan tersebut menekankan orientasi kemanusiaan dan perlu mendapatkan penghargaan serta penekanan yang tepat. Keberagamaan bijak harus berkomitmen untuk menghormati dan menjaga martabat manusia, tanpa terhalang oleh pendapat  yang didasarkan pada perasaan yang berlebih-lebihan terhadap sesuatu. Jika sebuah agama sejatinya diturunkan untuk kepentingan manusia, bukan sebaliknya. Salah satu indikator untuk menilai sikap jiwanya beragama dengan baik atau buruk, adalah dalam menyelesaikan masalah dengan memperhatikan ukuran dan bagian nilai-nilai kemanusiaan, bukan ideologi dan sentimen kelompok tertentu.

Penelitian yang dilakukan oleh Caner Dagli, membahas tentang pengaruh mistisisme Islam pada dialog antar agama menunjukkan adanya aspek spiritual dalam tradisi Islam. Peran tersebut, lebih efektif dalam memfasilitasi pertemuan antara umat Muslim dan Kristen. Dagli berpendapat, orang suci dan hukama agama dapat berbagi ajaran Tuhan tentang cinta dan kasih, serta mewujudkan keberiman tersebut dalam praktik sehari-hari. Mistisisme dapat menjadi jembatan yang menghubungkan teori dan praktik dalam dialog antara umat Muslim dan Kristen. Pendekatan esoteris-mistis menghilangkan keretakan hubungan agama tersebut (El Ansary, Waleed, & Linnan, 2010).

Dialog antara Muslim dan Kristen memiliki potensi yang sama seperti dialog antaragama dapat membentuk suatu dialog yang efektif. Dialog mistik bisa informal antara sahabat atau formal dalam pertemuan kelompok antaragama. Tujuan dari dialog ini adalah untuk mencapai transformasi pribadi. Beberapa teolog, berpendapat bahwa Dialog sejati terjadi saat agama saling terikat dalam pengalaman pribadi, spiritual, dan mistis (Panikkar, 1978).

Seorang percaya akan adanya mistik biasanya merahasiakan pengalaman batinnya agar tidak disalahpahami dan diabaikan oleh lingkungan yang mungkin bermusuhan dan berlawanan. Ini juga berlaku dalam hubungan antaragama. Meskipun demikian, individu yang memiliki dimensi batiniah iman harus tetap bertanggung jawab dalam tindakan praktis dan realistis dengan sikap positif. Mereka yang berorientasi mistik atau spiritual tidak boleh berpikir sempit, yaitu menghindari hal-hal spiritual dan mengatasi masalah dengan satu solusi (Novayani, 2019).

Dialog antaragama dalam tasawuf atau sufisme lebih erat dengan pemahaman intuitif atau nalar Irfani yang berfokus pengalaman keagamaan yang saling dipahami dan tradisi agama lain. Berasumsi dan bertindak secara cerdas terhadap keberagaman umat beragama mencerminkan tujuan hidup  yang jelas dan mentalitas beragama. Sikap, perilaku, dan mentalitas religius tergambar jelas dalam dialog antaragama (Abdullah, 2012).

Dalam al-Qur'an dan al-Kitab, banyak ayat yang mengandung kasih kepada Tuhan dan tanggungjawab kepada Tuhan. Ketika membaca al-Qur'an dimulai dengan menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Hal ini juga ada pada, kasih kepada Tuhan adalah yang pertama dan terbesar dalam al-Kitab. Tema kasih dalam Kristen dan Islam ternyata ada dan dikhususkan. Dalam mistisisme Kristen, bagi Yesus Kristus, kasih kepada sesama umatnya sangatlah penting karena dengan kasih kepada Tuhan tidak bisa dianggap serius jika kasih kepada sesama umatnya ditolak, dan kita harus mencintai mereka meskipun mereka membenci kita. Kata "bersama" dalam kasih Tuhan menyatakan pengakuan atas suatu fakta dalam al-Qur'an dan Alkitab yang secara tersembunyi menunjukkan keinginan untuk saling bertatap muka, tidak hanya pada luar, tetapi juga dari inti yang paling dalam (Williams, 2018).

Pendekatan mistisisme adalah pilihan dalam dialog antar agama. Ini didukung oleh haluan dan sifat khas esoteris mistisisme atau sufisme yang fokus pada dalam hati nurani seseorang. Ada pengetahuan sufi dalam Islam dan pengetahuan mistikal dalam Kristen. Kedua jalan ini dapat menjadi penghubung dalam dialog agama dan iman. Hampir semua agama memiliki kebiasaan mistikal yang serupa. Sudut pandang mistisisme dalam agama-agama ini cenderung lebih toleran, terbuka, dan adaptif terhadap faktor-faktor luar. Sejarah juga mencatatkan bahwa mistisisme dalam kepercayaan ini memiliki sifat yang toleran, terbuka, dan adaptif terhadap elemen-elemen luar tersebut.

 

5.    Penerapan Dialog Mistisisme dalam Relasi Islam-Kristen di Indonesia

Dalam konteks ini, penting untuk menekankan bahwa permasalahan yang sedang dibahas melibatkan berbagai isu hukum, sosial, dan agama. Salah satu manfaat utama dari "A Common Word" adalah kemampuannya untuk beradaptasi dengan konteks keberagaman Nusantara tanpa terbatas pada satu pandangan saja  (El Ansary, Waleed, & Linnan, 2010). Sebaliknya, pendekatan yang digunakan harus disesuaikan dengan keragaman masyarakat Indonesia.

Pluralitas agama dan keberagaman paham keagamaan di Indonesia adalah fakta historis yang tak bisa disangkal. Oleh karena itu, penting untuk berdialog teologis dan dialog karya atau sosial. Ini diperlukan oleh kelompok tertentu yang ingin memahami kitab suci atau mampu memahami bahasa agama yang kompleks dan penuh penghayatan, serta metafora yang bermakna bagi umatnya. Sementara itu, dialog karya adalah bentuk komunikasi bersama yang memperhatikan fenomena sosial dan keagamaan yang harus diselesaikan secara bersama oleh seluruh umat beragama. Ada hal- hal yang masih dipermasalahkan seperti, kemiskinan, kebodohan, bencana, kesejahteraan, dan lainnya perlu menjadi perhatian utama dalam konteks ini (Qadir, 2013).

Nusantara yang memiliki keberagaman dalam keyakinan dan sistem religi, suku, dan ras, menghadapi potensi konflik antarkelompok. Untuk mengatasi konflik tersebut, berbagai tindakan telah dilakukan di Indonesia. Salah satunya adalah melalui dialog antaragama, di mana pemimpin agama dari berbagai kelompok diundang untuk berbicara terbuka dan saling menghormati dalam menghadapi masalah yang menjadi tanggung jawab bersama. Kementerian Hukum dan HAM Indonesia juga telah mengikutsertakan Kementerian Agama, pemerintah lokal, dan masyarakat sipil dalam upaya meminimalkan bahaya konflik. Pemimpin agama memiliki pengaruh yang signifikan dalam kehidupan masyarakat Indonesia, oleh karena itu, mereka harus memberikan contoh tingkah laku yang baik, terutama dalam menghormati tradisi dan praktik agama lain. Selain itu, Kementerian Agama juga membentuk Satgas Toleransi yang bertugas mendorong dialog antaragama dan memperbaiki hubungan persaudaraan yang berselisih paham tentang kajian agama tertentu.

Pluralitas dapat didekati dari bawah ke atas melalui keterlibatan gereja, masjid, dan anggota muda mereka. Pendekatan ini lebih mudah dipahami oleh mayoritas orang Indonesia dan mendukung upaya nonkonvensional yang mengutamakan Tuhan Maha Esa. Pengesahan dan kerja sama di tingkat nasional dan regional akan membantu terwujudnya toleransi antar umat beragama. Pendekatan ini dapat diterima oleh masyarakat progresif dan konservatif. Pancasila mungkin menyarankan pergeseran menuju prinsip berkompetisi dalam perbuatan baik dalam jangka panjang (El Ansary, Waleed, & Linnan, 2010).


KESIMPULAN

Dengan pendekatan mistisisme, hubungan antar umat beragama dapat dipererat karena setiap agama mengajarkan penghambaan kepada Tuhan dan cinta kasih terhadap sesama makhluk. Penganut agama diharapkan saling membuka diri dan tidak bertikai dengan sesama karena tujuan mereka sama, yaitu menuju Tuhan. Mistisisme dalam tasawwuf Islam juga ada pada agama lain, seperti kristen. Internalisasi nilai-nilai spiritual dalam interaksi sosial sangat penting untuk menciptakan kedamaian dan cinta kasih antar umat beragama. Untuk menyatukan Islam dan Kristen dalam mistisisme, saling memahami dan sensitif terhadap prinsip-prinsip agama lain sangat penting. Namun, fokus pada aspek spiritual tidak boleh mengarah pada konvergensi pikiran dan kebebasan dari hal-hal spiritual. Ini akan memfasilitasi dialog yang saling menghormati dan terbuka antara kedua agama.

Pluralitas agama di Indonesia harus dihargai dengan sikap bijaksana, toleran, dan mengendalikan diri terhadap perbedaan agama. Kebebasan untuk beragama harus menggambarkan keadaan hidup, perilaku, dan mentalitas beragama dengan berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan menjaga ikatan yang serasi antara umat beragama melalui dasar kepercayaan kepada Tuhan.

Dalam upaya menjalankan dialog mistisisme yang bermanfaat, penting untuk melibatkan individu yang memiliki kompetensi dalam kedua agama dan bersedia untuk mendengarkan dengan sikap terbuka, menghormati perbedaan, serta mencari kesamaan. Dengan demikian, dialog mistisisme dapat menjadi sarana yang efektif dalam mempromosikan pemahaman dan perdamaian antara komunitas Muslim dan Kristen.


DAFTAR RUJUKAN

Abdullah. 2012. Islamic Studies di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Abror. 2020. Cara Tepat Melakukan Penelitian Sejarah. Jakarta: Republika.

Agus. 2006. Agama dalam Kehidupan Manusia. Jakarta: Raja Grafindo.

Akbar Ahmed. 1990. Citra Islam: Tinjauan Sejarah dan Sosiologi, (Terjemahan oleh Nunding Ram). Jakarta: Erlangga.

Armstrong. 1993. Sejarah Tuhan. Bandung: Mizan.

Azyumardi. 1995. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung: Mizan.

El Ansary, Waleed, & Linnan. 2010. Muslim and Christian: Understanding, Theory, and Application of “A Common Word”. New York: Palgrave Macmillan.

Gottschalk. 1975. Paham sejarah melalui metode sejarah. (Terjemahan: Notosoesanto). Jakarta: Yayasan Universitas Indonesia.

Hadi. 2019. Dua Peristiwa Sebelum Pemotongan Nisan Salib. (Online). (https://tempo.com), diakses pada tanggal 25 Oktober 2023.

Majid Fakhry. 2002. Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, (Terjemahan  oleh Zaimul Am). Bandung: Mizan.

Novayani. 2019. Pendekatan Studi Islam “Pendekatan Fenomenologi Dalam Kajian Islam”. Rejusta: Academic Journal, 3(1), 44–58.

Panikkar. 1978. The Intrareligious Dialogue. Los Angeles: Paulist Press.

Putsanra. 2019. Duduk Perkara Pemotongan Nisan Salib di Makam Purbayan Yogyakarta. (Online). (https://tirto.id), diakses pada tanggal 25 Oktober 2023.

Qadir. 2013. Agama-Agama dan Nilai Kemanusian. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.

Rainer. 2004. Metodologi Penulisan Sejarah. Jakarta: Gagas Media.

Smith. 2008. The Religions of Man, (Terjemahan oleh Saafroedin Bahar). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Sumargono. 2021. Metodologi Penelitian Sejarah. Klaten: Lakeisha.

Suril Ali. 2012. Sufisme dan Pluralisme. Jakarta : Gramedia.

Williams. 2018. The Future of Interfaith Dialogue: Muslim–Christian Encounters through A Common Word. UK: Cambridge University Press.


 
 
 
ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (ARDI TRI YUWONO) © 2020