A. Kehidupan Politik
Daerah Banten berhasil dikuasai dan
diislamkan oleh Fatahilah (Panglima Perang Demak). Di samping menguasai Banten,
Fatahilah juga berhasil merebut Cirebon dan Sunda Kelapa yang kemudian namanya
diubah menjadi Jayakarta (1527). Setelah Fatahilah menetap di Cirebon, Banten diserahkan
kepada putranya yang bernama Maulana Hasanuddin.
Banten masih tetap menjadi daerah
kekuasaan Demak, namun setelah di Demak terjadi kegoncangan politik akibat
perebutan kekuasaan, Banten akhirnya melepaskan diri. Maulana Hasanudin sebagai
peletak dasar dan menjadi Raja Banten yang pertama (1552–1570). Daerah
kekuasannya meluas sampai dengan Lampung dan berhasil mengusai perdagangan lada.
Pada tahun 1570 Sultan Hasanuddin meninggal dan digantikan oleh putranya, yakni
Panembahan Yusuf (1570–1580). Ia berhasil menundukkan Kerajaan Pajajaran.
Raja yang terbesar Banten ialah
Sultan Ageng Tirtayasa (1651–1682). Sultan Ageng Tirtayasa berhasil memajukan
perdagangan Banten. Politik Sultan Ageng terhadap VOC sangat keras, namun tidak
disetujui oleh putranya Sultan Haji (Abdulnasar Abdulkahar) sehingga terjadi
perselisihan. Sultan Haji minta bantuan VOC sehingga Kerajaan Banten yang jaya
dan besar di bawah pimpinan Sultan Ageng Tirtayasa kemudian menjadi boneka kompeni
dengan rajanya, Sultan Haji.
B. Kehidupan Ekonomi
Banten di bawah pemerintahan Sultan
Ageng Tirtayasa dapat berkembang menjadi bandar perdagangan dan pusat
penyebaran agama Islam. Adapun faktor-faktornya, antara lain sebagai berikut.
Letaknya strategis dalam lalu lintas perdagangan.
Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis sehingga para
pedagang Islam tidak lagi singgah di Malaka, namun langsung menuju Banten.
Banten mempunyai bahan ekspor penting, yakni lada.
Banten yang maju banyak dikunjungi
pedagang-pedagang dari Arab, Gujarat, Persia, Turki, Cina, dan sebagainya. Di
kota dagang Banten segera terbentuk perkampungan menurut asal bangsa itu,
seperti orang-orang Arab mendirikan Kampung Pekojan, orang Cina mendirikan
Kampung Pecinan, orang-orang Indonesia dari suku-suku lainnya mendirikan Kampung
Banda, Kampung Jawa, dan sebagainya.
C. Kehidupan Sosial Budaya
Sejak Banten diislamkan oleh
Fatahilah (Faletehan) pada tahun 1527 maka kehidupan sosial masyarakat Banten
secara berangsur-angsur mulai berlandaskan ajaran-ajaran Islam. Setelah Banten
berhasil mengalahkan Pajajaran, pengaruh Islam makin kuat di daerah pedalaman.
Pendukung setia Kerajaan Pajajaran kemudian menyingkir ke pedalaman, yakni ke daerah
Banten Selatan. Mereka kemudian di kenal sebagai suku Badui.
Kepercayaan mereka disebut Pasundan
Kawitan yang artinya pasundan yang pertama. Mereka mempertahankan
tradisi-tradisi lama dan menolak pengaruh Islam.
Kehidupan sosial masyarakat Banten
semasa Sultan Ageng Tirtayasa meningkat pesat sebab sultan mempehatikan
kehidupan dan kesejahteraan rakyatnya. Namun, setelah Sultan Ageng Tirtayasa
meninggal, kehidupan sosialnya merosot tajam sebab adanya campur tangan Belanda
dalam berbagai kehidupan.
Kehidupan seni budaya Islam dapat
ditemukan pada bangunan Masjid Agung Banten (tumpang lima) dan bangunan
gapura-gapura di Kaibon Banten. Di samping itu, bangunan istana yang dibangun
oleh Jan Lukas Cardeel, orang Belanda pelarian dari Batavia yang telah menganut
agama Islam. Susunan istananya menyerupai istana raja di Eropa.
Sumber:
Chalid Latif dan
Irwin Lay. 1992. Atlas Sejarah Indonesia dan Dunia. Jakarta: Pembina
Peraga.
Dwi Ari Listiyani.
2009. Sejarah 2 Untuk SMA/MA Kelas XI Program IPS. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan
Nasional.
Leo Agung S. dan
Dwi Ari Listiyani. 2003. Sejarah Nasional dan Umum 2. Surakarta:
Sebelas Maret University Press.
Marwati Djoened
Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. 1984. Sejarah Nasional Indonesia V
dan VI. Jakarta: Balai Pustaka.
Nugroho
Notosusanto. Dkk . 1992. Sejarah Nasional Indonesia 2 dan 3.
Jakarta: Depdikbud.