Dialog
antarkomponen masyarakat merupakan bagian tidak terpisahkan dari kerukunan
kehidupan umat manusia yang secara kasatmata menunjukkan bahwa keragaman dan
perubahan kebudayaan atau dinamika sosial sering mengarah pada situasi konflik.
Dialog pada masyarakat multikultur mempunyai beberapa fungsi, di antaranya
sebagai berikut.
- Sebagai wahana komunikasi antara orang-orang yang berada pada tingkat yang relatif sama.
- Merupakan upaya untuk mempertemukan hati dan pikiran antarsesama anggota masyarakat.
- Dapat dijadikan jalan bersama untuk menjelaskan kebenaran atas dasar kejujuran dan kerja sama dalam kegiatan sosial untuk kepentingan bersama dalam menciptakan dan memelihara keseimbangan dan keteraturan hidup bermasyarakat.
- Untuk memahami, mengidentifikasi, dan menyosialisasikan kebijakan, konsep, dan langkah-langkah kerukunan hidup bermasyarakat.
- Untuk pembinaan kerukunan umat manusia dalam rangka pengendalian konflik.
Berbicara
tentang toleransi dan empati dalam hubungan keragaman dan perubahan kebudayaan,
dihadapkan pada dua permasalahan, Pertama, bagaimana membangun kembali semangat
“saling percaya” dalam interaksi
antarkomunitas atau kelompok sosial setelah berlangsungnya konflik-konflik
komunal yang menggunakan sentimen suku bangsa atau etnis, agama, ras, politik,
dan ekonomi di berbagai daerah. Kedua, bagaimana komunitas atau kelompok sosial
dapat hidup berdampingan dengan diversitas budaya atau komunitas subkultur yang
berbeda, seperti budaya kosmopolitarisme, globalisme, budaya popular, budaya
etnik, dan budaya lokal yang dilahirkan oleh masyarakat multikukural.
Permasalahan tersebut sangat relevan dengan semakin kuatnya penggunaan politik
identitas dalam berbagai konflik komunal di masa transisi seperti terjadi
kehidupan masyarakat pada umumnya.
Seperti
halnya pada masyarakat Indonesia, sikap saling percaya sebagai kekuatan
mewujudkan komunitas humanistik atau komunitas warga (civic community) mengalami kemerosotan ketika kekuasan rezim Orde
Baru mengatasnamakan keanekaragaman komunitas atau kelompok sosial yang
membatasi kebebasan sipil dan kebebasan politik. Kekuasaan otoriter itu juga
yang membangun yang kemudian disebut ideologi SARA.
Dengan
demikian, sesuatu bekerjanya pengendalian politik atas pluralisme menyebabkan
kemampuan komunitas warga mewujudkan kehidupan yang demokratis melalui kesepakatan
dan keseteraan secara politis, soltdaritas, kepercayaan (truste), toleransi, serta struktur sosial yang kooperatif
antarwarga, memudar digantikan oleh peran negara di seluruh sektor kehidupan.
Upaya mengembalikan sikap saling percaya yang sempat goyah akibat pertikaian
antarkelompok sosial, tidaklah mudah.
Sumber:
Bagja Waluya. 2009. Sosiologi: Menyelami Fenomena
Sosial di Masyarakat. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan
Nasional.
Lawang, Robert M.Z. 1980. Pengantar
Sosiologi. Jakarta: UT.
Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi:
Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali.