Dalam
kasus Indonesia, segala konflik yang ada, baik berdasar asumsi radikal maupun
fungsionalis, mengarah pada konflik etnis. Konflk etnis merupakan gejala sosial
politik permanen dalam dunia modern. Hampir tidak ada negara yang bebas dari
permasalahan itu. Dalam penelitian yang dilakukan antara tahun 1945-1980,
korban jiwa akibat konflik etnis lebih banyak jumlahnya daripada kombinasi
konflik lainnya. Renner berpendapat, konflik etnis dalam sebuah negara terjadi
karena pemetaan atau pembagian wilayah yang dilakukan kolonialis tidak
mempertimbangkan kepentingan kultural. Akibatnya, bangsa yang sama dan semula
satu menjadi terpisah-pisah dan tergabung dengan bangsa lain yang asing dengan
kultur mereka, bahkan bertentangan dan kemudian terjebak dalam konflik
permanen.
Eksistensi
negara-negara multietnis mempunyai lima kemung kinan terjadinya model regulasi
konflik etnis, yaitu sebagai berikut.
- Partisi yaitu pemisahan secara tegas antara satu etnis dan etnis lain. Model ini jarang digunakan sebab hanya terjadi ketika sebuah etnis benar-benar hidup terpisah dan garis demarkasi negara.
- Dominasi adalah satu etnis terhadap etnis lain; yaitu bentuk yang biasanya melalui kekerasan atau tindakan diskriminatif.
- Asimilasi merupakan bentuk halus dan maju dari model kedua, namun dilakukan dengan cara yang alami.
- Konsolidasi, sistem yang mengakui eksistensi setiap perbedaan yang ada dan mencoba untuk mengharmonikan perbedaan-perbedaan itu. Dalam model ini, kelompok mayoritas bukan pihak yang menentukan dalam berbagai hal, tetapi diputuskan berdasarkan konsensus dan kompromi.
- Akomodasi yaitu pengakuan terhadap semua etnis tetapi tidak memiliki keterkaitan dengan hal-hal yang sifatnya politis. Model ini mungkin lebih tepat disebut sinkretisme, negara berusaha mengakomodasi dan mengapresiasikan berbagai perbedaan yang ada dan menganggap semua etnis yang ada memlliki posisi yang sama dan diperlakukan secara adil.
Kerukunan
merupakan tujuan yang diharapkan oleh semua masyarakat yang berbeda-beda dalam
kelompok tersebut. Kerukunan hidup merupakan konsensus yang harus dicapai yang
mencakup kerukunan politik, ekonomi, dan sosial budaya. Kerukunan individu
dengan individu, individu dengan kelompok, kelompok dengan kelompok, juga
kerukunan antara institusi sosial dan kerukunan antara masyarakat dan
pemerintah.
Kemampuan
masyarakat dalam memberdayakan organisasi dan kelembagaan pada umumnya
menunjukkan kondisi yang relatif masih rendah. Hal ini tampak dari masih
kuatnya pengaruh budaya tradisional, terutama di kalangan masyarakat petani,
nelayan, dan berbagai komunitas lapisan bawah. Dampaknya, ketika terjadi
perubahan sosial, ekonomi, politik, serta perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang demikian cepat dan makin canggih, mereka mengalami goncangan
budaya (cultural shock) yang hebat. Indikasinya, nilai-nilal dan norma lama
sudah ditinggalkan sementara nilai-nilai pengganti yang bercorak modern belum ditemukan.
Contohnya,
budaya gotong royong bergeser menjadi kerja dengan sistem upah yang setiap
kegiatan selalu diukur dengan nilai uang (pamrih) dan sikap individualistik.
Fenomena tersebut menunjukkan masih rendahnya kesadaran dan pengamalan dalam
memaknai berbagai aspek kehidupan sehari-hari yang saling terkait, seperti
aspek ideologi, ekonomi, konflik sosial, politik, pendidikan, kesehatan, dan
keamanan yang masih penuh dengan ketidakpastian dan tantangan berat. Banyak
peristiwa konflik sosial yang saling terkait dengan politik, ekonomi, dan
budaya. Oleh karena itu, diperlukan paradigma baru untuk penyelesaian konflik
dan penguatan ketahanan masyarakat lokal. Dialog kerukunan antar komponen
masyarakat makin penting diposisikan sebagai subsistem dalam kerangka
pembangunan masyarakat. Pihak-pihak yang memegang peranan penting sebagai
perancang dan pelaksana dialog adalah para pemimpin masyarakat.
Sumber:
Bagja Waluya. 2009. Sosiologi: Menyelami Fenomena
Sosial di Masyarakat. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan
Nasional.
Lawang, Robert M.Z. 1980. Pengantar
Sosiologi. Jakarta: UT.
Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi:
Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali.