Model Regulasi Konflik Etnis | ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (ARDI TRI YUWONO)
Gunakan fitur "search my site" untuk mencari artikel yang anda inginkan
 

Jumat, 17 Desember 2021

Model Regulasi Konflik Etnis

 


Dalam kasus Indonesia, segala konflik yang ada, baik berdasar asumsi radikal maupun fungsionalis, mengarah pada konflik etnis. Konflk etnis merupakan gejala sosial politik permanen dalam dunia modern. Hampir tidak ada negara yang bebas dari permasalahan itu. Dalam penelitian yang dilakukan antara tahun 1945-1980, korban jiwa akibat konflik etnis lebih banyak jumlahnya daripada kombinasi konflik lainnya. Renner berpendapat, konflik etnis dalam sebuah negara terjadi karena pemetaan atau pembagian wilayah yang dilakukan kolonialis tidak mempertimbangkan kepentingan kultural. Akibatnya, bangsa yang sama dan semula satu menjadi terpisah-pisah dan tergabung dengan bangsa lain yang asing dengan kultur mereka, bahkan bertentangan dan kemudian terjebak dalam konflik permanen.

 

Eksistensi negara-negara multietnis mempunyai lima kemung kinan terjadinya model regulasi konflik etnis, yaitu sebagai berikut.

 

  • Partisi yaitu pemisahan secara tegas antara satu etnis dan etnis lain. Model ini jarang digunakan sebab hanya terjadi ketika sebuah etnis benar-benar hidup terpisah dan garis demarkasi negara.

 

  • Dominasi adalah satu etnis terhadap etnis lain; yaitu bentuk yang biasanya melalui kekerasan atau tindakan diskriminatif.

 

  • Asimilasi merupakan bentuk halus dan maju dari model kedua, namun dilakukan dengan cara yang alami.

 

  • Konsolidasi, sistem yang mengakui eksistensi setiap perbedaan yang ada dan mencoba untuk mengharmonikan perbedaan-perbedaan itu. Dalam model ini, kelompok mayoritas bukan pihak yang menentukan dalam berbagai hal, tetapi diputuskan berdasarkan konsensus dan kompromi.

 

  • Akomodasi yaitu pengakuan terhadap semua etnis tetapi tidak memiliki keterkaitan dengan hal-hal yang sifatnya politis. Model ini mungkin lebih tepat disebut sinkretisme, negara berusaha mengakomodasi dan mengapresiasikan berbagai perbedaan yang ada dan menganggap semua etnis yang ada memlliki posisi yang sama dan diperlakukan secara adil.

 

Kerukunan merupakan tujuan yang diharapkan oleh semua masyarakat yang berbeda-beda dalam kelompok tersebut. Kerukunan hidup merupakan konsensus yang harus dicapai yang mencakup kerukunan politik, ekonomi, dan sosial budaya. Kerukunan individu dengan individu, individu dengan kelompok, kelompok dengan kelompok, juga kerukunan antara institusi sosial dan kerukunan antara masyarakat dan pemerintah.

 

Kemampuan masyarakat dalam memberdayakan organisasi dan kelembagaan pada umumnya menunjukkan kondisi yang relatif masih rendah. Hal ini tampak dari masih kuatnya pengaruh budaya tradisional, terutama di kalangan masyarakat petani, nelayan, dan berbagai komunitas lapisan bawah. Dampaknya, ketika terjadi perubahan sosial, ekonomi, politik, serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian cepat dan makin canggih, mereka mengalami goncangan budaya (cultural shock) yang hebat. Indikasinya, nilai-nilal dan norma lama sudah ditinggalkan sementara nilai-nilai pengganti yang bercorak modern belum ditemukan.

 

Contohnya, budaya gotong royong bergeser menjadi kerja dengan sistem upah yang setiap kegiatan selalu diukur dengan nilai uang (pamrih) dan sikap individualistik. Fenomena tersebut menunjukkan masih rendahnya kesadaran dan pengamalan dalam memaknai berbagai aspek kehidupan sehari-hari yang saling terkait, seperti aspek ideologi, ekonomi, konflik sosial, politik, pendidikan, kesehatan, dan keamanan yang masih penuh dengan ketidakpastian dan tantangan berat. Banyak peristiwa konflik sosial yang saling terkait dengan politik, ekonomi, dan budaya. Oleh karena itu, diperlukan paradigma baru untuk penyelesaian konflik dan penguatan ketahanan masyarakat lokal. Dialog kerukunan antar komponen masyarakat makin penting diposisikan sebagai subsistem dalam kerangka pembangunan masyarakat. Pihak-pihak yang memegang peranan penting sebagai perancang dan pelaksana dialog adalah para pemimpin masyarakat.

 

Sumber:

 

Bagja Waluya. 2009. Sosiologi: Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.

Lawang, Robert M.Z. 1980. Pengantar Sosiologi. Jakarta: UT.

Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali.

 
 
 
ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (ARDI TRI YUWONO) © 2020