| Untung Suropati |
Untung
Suropati, demikianlah nama pejuang pada masa Mataram di bawah pemerintahan
Amangkurat II. Sikap benci Untung kepada VOC telah muncul sejak di Batavia.
Untung kemudian melarikan diri ke Cirebon dan terjadi perkelahian dengan Suropati
maka namanya menjadi Untung Suropati. Dari Cirebon Untung terus melanjutkan
perjalanan ke Kartasura.
Amangkurat
II setelah menjadi raja merasakan betapa beratnya perjanjian yang telah
ditandatangani dan berusaha untuk melepaskan diri. Ketika Untung Suropati tiba
di Kartasura disambut dengan baik. Pada tahun 1686 datang utusan dari Batavia
di bawah pimpinan Kapten Tack dengan maksud merundingkan soal hutang Amangkurat
II dan menangkap Untung Suropati.
Amangkurat
II menghindari pertemuan ini dan terjadilah pertempuran. Kapten Tack beserta
pengikutnya berhasil dihancurkan oleh pasukan Untung Suropati. Untung Suropati
kemudian melanjutkan perjalanan ke Jawa Timur dan sampailah ke Pasuruan Di
sinilah akhirnya Untung mendirikan istana dan mengangkat dirinya sebagai bupati
dengan gelar Adipati Wironagoro. Di Bangil didirikan perbentengan. Bupati-bupati
seluruh Jawa Timur mendukungnya, dengan demikian kedudukannya makin kuat.
Pada
tahun 1703, Amangkurat II wafat, digantikan oleh putranya Sunan Mas dengan
gelar Sultan Amangkurat III yang anti kepada Belanda. Pamannya Pangeran Puger
(adik Amangkurat II) berambisi ingin menjadi raja di Mataram dan pergi ke Semarang
untuk mendapatkan dukungan dari VOC. Selanjutnya, VOC berserta Pangeran Puger
menyerang Kartasuradan berhasil diduduki. Amangkurat III melarikan diri ke Jawa
Timur bergabung dengan Untung Suropati. Pada tahun 1704 Pangeran Puger
dinobatkan sebagai Raja Mataram dengan gelar Sunan Paku Buwono I.
Pihak
Belanda menyiapkan pasukan secara besar-besaran untuk menggempur pasukan Untung
di Pasuruan. Di bawah pimpinan Herman de Wilde, pasukan kompeni berhasil
mendesak perlawanan Untung. Dalam pertempuran di Bangil, Untung terluka dan
akhirnya gugur pada tanggal 12 Oktober 1706. Sunan Mas bisa tertangkap dan
kemudian dibuang ke Sailan atau Sri Langka (1708).
Pada
tahun 1719 Sunan Paku Buwono I wafat dan digantikan oleh Amangkurat IV (Sunan
Prabu) di bawah mandat VOC. Makin eratnya hubungan denganVOC membuat para
bangsawan benci kepada kompeni.
Mereka
mengadakan perlawanan, antara lain Pangeran Purboyo (adik Sunan) dan Pangeran
Mangkunegoro (putra Sunan sendiri). Perlawanan terhadap Kompeni dapat dipadamkan
dan para pemimpinya ditangkap dan dibuang ke Sailan dan Afrika Selatan, kecuali
Pangeran Mangkunegoro yang diampuni ayahnya.
Pada
masa pemerintahan Paku Buwono II (1727–1749) Mataram diguncang lagi perlawanan
yang dipimpin oleh Mas Garendi (cucu Sunan Mas). Perlawanan ini di dukung oleh
orang-orang Tionghoa yang gagal mengadakan pemberontakan terhadap VOC di
Batavia. Mas Garendi berhasil menduduki ibu kota Kartasura.
Paku
Buwono II melarikan diri ke Ponorogo. VOC meminta bantuan kepada Bupati Madura,
Cakraningrat untuk merebut kembali Kartasura dengan imbalan keinginan
Cakraningrat untuk melepaskan diri dari Mataram akan dikabulkan. Cakraningrat
berhasil merebut kembali Kartasura dan Paku Buwono II berhasil kembali ke
Kartasura sebagai raja. Namun, antara VOC dan Cakraningrat terjadi perselisihan
karena Cakraningrat keberatan meninggalkan Kartasura. Perselisihan berakhir
dengan ditangkapnya dan di buang ke Afrika Selatan (1745).
Setelah
beberapa kali terjadi perlawanan di Kartasura, Kartasura dianggap tidak layak
sebagai ibu kota kerajaan sehingga pusat pemerintahan dipindahkan ke Surakarta.
Makin bercokolnya VOC di Mataram menyebabkan pada masa Paku Buwono II ini juga
terjadi perlawanan lagi di bawah pimpinan Raden Mas Said (putra Pangeran Mangkunegoro)
dan menduduki Sukowati. Oleh Paku Buwono II dikeluarkan semacam sayembara,
siapa yang dapat merebut daerah Sukowati akan mendapat daerah itu sebagai
imbalannya. Pangeran Mangkubumi, adik Paku Buwono II berhasil merebut Sukowati,
tetapi ternyata daerah itu tidak diberikan. Pangeran Mangkubumi meninggalkan kota
dan bergabung dengan Raden Mas Said melakukan perlawanan.
Sumber:
Chalid
Latif dan Irwin Lay. 1992. Atlas Sejarah Indonesia dan Dunia.
Jakarta: Pembina Peraga.
Dwi
Ari Listiyani. 2009. Sejarah 2 Untuk SMA/MA Kelas XI Program IPS.
Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan
Nasional.
Leo
Agung S. dan Dwi Ari Listiyani. 2003. Sejarah Nasional dan Umum 2. Surakarta:
Sebelas Maret University Press.
Marwati
Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. 1984. Sejarah Nasional Indonesia V dan
VI. Jakarta: Balai Pustaka.
Nugroho
Notosusanto. dkk. 1992. Sejarah Nasional Indonesia 2 dan 3. Jakarta:
Depdikbud.