Penanganan Sosial Budaya Menuju Integrasi Sosial | ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (ARDI TRI YUWONO)
Gunakan fitur "search my site" untuk mencari artikel yang anda inginkan
 

Jumat, 30 Juli 2021

Penanganan Sosial Budaya Menuju Integrasi Sosial

 

Untuk menciptakan integrasi sosial dalam rangka mewujudkan keteraturan sosial diperlukan upaya-upaya dari berbagai komponen masyarakat melalui langkah-langkah yang optimal dan berkesinambungan. Di antara sekian banyak langkah yang dapat dilakukan dalam penanganan sosial budaya menuju integrasi sosial adalah sebagai berikut.

 

1. Pembangunan Pendidikan

 


Pendidikan pada hakikatnya adalah proses menemukan identitas seseorang. Proses pendidikan yang benar adalah yang membebaskan seseorang dari berbagai kungkungan, atau penyadaran akan kemampuan seseorang. Proses pendidikan tidak hanya dilihat sebagai suatu proses yang terjadi dalam lembaga formal seperti sekolah. Lembaga informal pun merupakan sarana yang mampu mendidik seseorang. Sebagai lembaga sosial, sekolah merupakan bagian dari proses pendidikan yang juga merupakan proses pembudayaan.

 

Pengembangan sistem pendidikan yang diselenggarakan harus mempertimbangkan dan mengacu pada prinsip-prinsip berikut.

 

  • Moral agama. Hal ini berkaitan dengan upaya peningkatan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa serta berbudi pekerti luhur.

 

  • Ideologis filosofis. Pelaksanaan proses pendidikan hendaklah berasaskan Pancasila (sebagai dasar serta pandangan hidup berbangsa dan bernegara) yang mengarah pada penguatan integritas nasional.

 

  • Psikologis, mengupayakan peningkatan atau pencapaian keseimbangan etika, logika, estetika, dan kinestetika.

 

  • Sosial budaya, berkaitan dengan upaya peningkatan atau pencapaian kepribadian yang mantap dan mandiri serta bertanggung jawab.

 

  • Demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif, menjunjung tinggi hak azazi manusia, nilai keagamaan, dan nilai kultural, serta kemajemukan bangsa. Tumbuhnya demokrasi dalam proses pendidikan mendorong tumbuhnya pendekatan multikulturalisme dalam pendidikan.

 

  • Sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna.

 

  • Sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.

 

  • Memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.

 

  • Mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat.

 

  • Memberdayakan seluruh komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan masyarakat.

 

Prinsip-prinsip tersebut dapat dijadikan sebagai landasan sistem pendidikan dengan harapan mampu memberikan kontribusi bagi pencapaian pembangunan nasional. Tentunya dengan memperhatikan juga pelaksanaan sistem pendidikan yang semesta (terbuka bagi seluruh rakyat dan berlaku di seluruh wilayah negara), menyeluruh (mencakup semua jalur, jenjang, serta keterkaitan antara pendidikan nasional dan usaha pembangunan nasional), dan terpadu.

 

 

2. Manajemen Konflik

 

 

Terdapat banyak konflik yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Ross (1993) mengemukakan dua sumber konflik yang terjadi dalam sebuah organisasi atau kelompok, yaitu teori struktur sosial dan teori psychocultural. Teori struktur sosial menekankan persaingan antara pihak-pihak yang berkepentingan sebagai motif utama sebuah konflik, sedangkan teori psycocultural lebih menekankan kekuatan psikologi dan kultural.

 

Kedua sumber konfliik tersebut memerlukan penanganan yang berbeda. Teori struktural menerangkan bahwa strategi manajemen konflik memerlukan perubahan kondisi organisasi pihak tersebutvsecara mendasar. Kepentingan yang bermacam-macam sangat sulit untuk dijembatani. Adapun teori psycocultural dalam melakukan manajemen konflik memfokuskan pada proses yang dapat mengubah persepsi atau memengaruhi hubungan antara pihak-pihak kunci. Dalam teori ini, kepentingan lebih bersifat subjektif dan dapatbberubah dibandingkan dalam pandangan teori struktural.

 

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah konflk yang mengarah pada kekerasan adalah melalui manajemen konflik dengan mekanisme dan model pengelolaan konflik. Konflik sosial budaya yang terjadi sebenarnya dapat dinetralisasi dengan menciptakan konsensus. Konsensus ini pada gilirannya akan dapat mengatasi perbedaan pendapat dan kepentingan antargolongan dalam masyarakat. Setiap ketegangan dan penyimpangan yang terjadi akan selalu dapat dicarikan rujukannya melalui konsensus yang telah disepakati bersama. Dengan demikian, konflik yang terjadi tidak akan menjurus ke arah kekerasan sehingga integrasi sosial budaya akan dapat tercapai.

 

3. Meningkatkan Modal Sosial

 

Konsep ini diperkenalkan oleh Robert Putnam sewaktu meneliti masyarakat Italia tahun 1985. Mereka memiliki kesadaran politik yang tinggi dan setiap individu mempunyai minat besar untuk terlibat dalam masalah publik. Hubungan antaranggota masyarakat lebih bersifat horizontal karena semua masyarakat mempunyai hak dan kewajiban yang sama.

 

Modal sosial adalah norma dan jaringan yang melancarkan interaksi dan transaksi sosial sehingga segala urusan bersama dalam masyarakat dapat diselenggarakan dengan mudah. Dalam modal sosial memuat kemampuan warga masyarakat untuk mengatasi masalah publik dalam iklim demokratis. Oleh karena itu, terjalin kerja sama antarwarga untuk menghasilkan tindakan kolektif.

 

Pengembangan praktik modal sosial tumbuh dari prinsip seperti kita harus berbaik sangka pada sesama dan menghindari rasa curiga. Prinsip tersebut sangat baik untuk membangun modal sosial karena sikap toleran yang harus dipelihara sehingga tercipta suatu kerja sama antarindividu atau antarkelompok masyarakat. Modal sosial positif, seperti arisan, gotong royong, dan lainnya dapat digunakan sebagai kosmetik kebijaksanaan pembangunan ekonomi.

 

4. Pembangunan Komunitas

 


Komunitas mengacu pada kesatuan hidup sosial yang ditandai dengan interaksi sosial yang lebih jelas dikenali dan disadari oleh anggota-anggotanya. Pengertian komunitas tidak selamanya mengacu pada individu dan perkotaan secara keseluruhan. Komunitas bisa tersusun dari kelompok-kelompok permukiman di lingkungan RT, RW, desa, kecamatan. Komunitas juga dapat berbentuk partai politik, organisasi profesi, organisasi swadaya masyarakat yang formal dan perkumpulan agama, budaya, hobi, atau paguyuban keluarga, dan sebagainya. Ciri yang penting dari komunitas adalah bahwa interaksi antaranggota berlangsung dalam intensitas dan frekuensi yang tinggi, saling mengenal, saling menolong, dan kerja sama.

 

5. Demokratisasi

 

Secara umum diyakini bahwa demokratisasi dapat bekerja sebagai sistem pengelolaan ataupun pencegahan konflik. Hal ini terbukti dari beberapa catatan sejarah yang mengangkat demokrasi memiliki fungsi lebih baik dalam pengelolaan damai bagi konflik-konflik dibandingkan sistem-sistem lain. Fakta nyata bahwa negara demokratis lebih kecil kemungkinannya untuk berperang dengan sesama negara demokratis. Melalui demokratisasi, setiap perselisihan yang timbul diproses, diperdebatkan, dan direspons. Pemerintahan yang demokratis.

 

Melalui demokratisasi, setiap perselisihan yang timbul diproses, diperdebatkan, dan direspons. Pemerintahan yang demokratis memperbolehkan ketidakpuasan diekspresikan secara terbuka dan mendapat respons. Dengan kata lain, demokrasi bertindak sebagai sistem pengelolaan konflik tanpa kembali terjebak pada kekerasan. Sebagai contoh, sering terjadinya demonstrasi di Indonesia akhir-akhir ini setelah masa reformasi adalah wujud dari kebebasan negara dalam menuju demokratisasi. Bandingkan dengan zaman sebelum reformasi, masyarakat dikungkung dan dibungkam kebebasannya dalam berekspresi dan berpendapat tentang ketidakpuasannya.

 

6. Memberdayakan Pekerjaan Sosial

 

Pekerjaan sosial adalah sebuah profesi pertolongan kemanusiaan yang fokus utamanya membantu fungsi dari sosial individu, keluarga, dan masyarakat dalam melaksanakan peran-peran sosialnya. Penanganan konflik ataupun pembangunan modal kedamaian sosial dalam perspektif pekerjaan sosial dilakukan melalui tiga arah secara terintegratif, yaitu mikro (individu dan keluarga), messo (kelompok dan lembaga-lembaga swadaya), dan makro (negara). Dalam konteks makro, misalnya, kebijakan publik yang kondusif diyakini sebagai piranti penting dalam pembangunan modal kedamaian sosial. Di negara-negara Barat, sistem kebijakan sosial dan jaminan sosial pada hakikatnya merupakan upaya untuk mereduksi ketimpangan dan keadilan sosial secara melembaga yang pada gilirannya menjadi penopang modal kedamaian sosial.

 

Sumber:

 

Bagja Waluya. 2009. Sosiologi: Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.

 

Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali.

 

Lawang, Robert M.Z. 1980. Pengantar Sosiologi. Jakarta: UT.

 

Cohen, Bouce J. 1992. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rhineka Cipta.

 

 
 
 
ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (ARDI TRI YUWONO) © 2020