Indonesia
memiliki struktur masyarakat yang unik. Secara horizontal, Indonesia ditandai
oleh adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan-perbedaan suku
bangsa, agama, bahasa, dan perbedaan yang bersifat kedaerahan. Perbedaan secara
horizontal ini menjadi ciri khas masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk.
Istilah majemuk mula-mula diperkenalkan oleh Furnivall untuk menggambar kan
masyarakat Indonesia pada masa Hindia Belanda. Secara vertikal, struktur
masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan antara lapisan
atas dan lapisan bawah yang cukup tajam.
Indonesia
memiliki kompleksitas budaya yang plural (plural
societies) dan heterogen (masyarakat majemuk), yakni suatu masyarakat yang
terdiri atas dua atau lebih elemen-elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada
pembauran satu sama lain di dalam satu kesatuan politik. Pertanda paling jelas
dari masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk itu adalah tidak adanya
kehendak bersama (common will).
Elemen-elemen masyarakat Indonesia secara keseluruhan terpisah satu sama lain.
Setiap elemen lebih merupakan kumpulan individu-individu daripada suatu
keseluruhan yang bersifat organis. Sebagai individu, kehidupan sosial mereka
tidaklah utuh. Oleh karena itu, konflik yang terjadi di Indonesia seringkali
bersumber dari adanya perbedaan dan pertentangan antar latar belakang sosio
kultural. Indonesia dapat dianggap sebagai negara yang memiliki modal kedamaian
sosial yang rendah.
Kerusuhan
demi kerusuhan terus terjadi di berbagai pelosok tanah air di Indonesia.
Terlebih lagi ada keinginan setiap daerah untuk melepaskan diri dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia karena salah menafsirkan Undang-Undang Otonomi
Daerah. Menurut Du Bois dan Miley, sumber utama terjadinya konflik dalam masyarakat adalah adanya ketidakadilan
sosial, adanya diskriminasi terhadap hak-hak individu dan kelompok, serta tidak
adanya penghargaan terhadap keberagaman. Ketiga faktor tersebut biasanya sangat
berkaitan dengan sikap-sikap dan perilaku masyarakat yang ditandai dengan
hal-hal berikut.
1.
Rasisme
Rasisme
merupakan sebuah ideologi yang membenarkan dominasi satu kelompok ras tertentu
terhadap kelompok lainnya atau perasaan superioritas yang berlebihan terhadap
kelompok sosial tertentu. Rasisme sering diberi legitimasi atau klaim bahwa
suatu ras minoritas secara genetik dan budaya lebih inferior dari ras yang
dominan. Diskriminasi ras memiliki tiga tingkatan yaitu individual,
organisasional, dan struktural. Pada tingkat individu, diskriminasi ras
berwujud sikap dan perilaku prasangka. Pada tingkat organisasi, diskriminasi
ras terlihat manakala kebijakan, aturan, dan perundang-undangan hanya
menguntungkan kelompok tertentu saja. Secara struktural, diskriminasi ras dapat
dilacak manakala satu lembaga sosial memberikan pembatasan-pembatasan dan
larangan-larangan terhadap lembaga lainnya.
2.
Elitisme
Elitisme
nomerujuk pada pemujaan yang berlebihan terhadap strata atau kelas sosial yang
berdasarkan pada kekayaan, kekuasaan, dan prestise. Individu atau kelompok yang
memiliki kelas sosial tinggi kemudian dianggap berhak menentukan
potensi-potensi orang lain dalam menjangkau sumber-sumber atau mencapai
kesempatan-kesempatan yang ada dalam masyarakat.

Elitisme cenderung meorientasikan kemewahan
3.
Gender
Gender merupakan
keyakinan bahwa jenis kelamin tertentu memiliki kelebihan atas jenis kelamin
lainnya. Pandangan ini seringkali didukung oleh penafsiran (interpretation),
tradisi- tradisi budaya, dan atau kebiasaan keagamaan yang pada umumnya
memandang wanita lebih rendah daripada laki-laki.
4.
Usia
Usia
menunjuk pada sikap-sikap negatif terhadap proses ketuaan. Proses ini sangat
meyakini bahwa kategori usia tertentu memiliki sifat yang rendah (inferiority) dibandingkan dengan
kelompok usia lainnya. Oleh karena itu, perlakuan yang tidak adil dapat dibenarkan.
Meskipun hal ini umumnya diterapkan kepada manusia lanjut usia (manula), sikap
ini sering pula ditujukan kepada anak-anak.
Selain
keempat faktor tersebut, masih ada faktor lainnya seperti prasangka atau
sikap-sikap negatif terhadap orang yang memiliki kecacatan. Orang yang memiliki
kecacatan (tubuh, mental) secara otomatis sering dianggap berbeda dan tidak
mampu melakukan tugas-tugas kehidupan sebagaimana orang normal. Orang dengan
kecacatan atau penyandang cacat (persons
with disabilities) seringkali dipandang sebagai orang yang secara sosial
tidak “matang” dan tidak mampu dalam segala hal.
Konflik
sosial yang terjadi umumnya melalui dua tahap yang dimulai dari tahap
disorganisasi atau keretakan dan terus berlanjut ke tahap disintegrasi atau
perpecahan. Timbulnya gejala-gejala disorganisasi dan disintegrasi adalah
akibat dari hal-hal berikut.
- Ketidaksepahaman para anggota kelompok tentang tujuan masyarakat yang pada awalnya menjadi pedoman bersama.
- Norma-norma sosial tidak membantu anggota masyarakat dalam mencapai tujuan yang telah disepakati.
- Kaidah-kaidah dalam kelompok yang dihayati oleh anggotanya bertentangan satu sama lain.
- Sanksi menjadi lemah bahkan tidak dilaksanakan dengan konsekuen.
- Tindakan anggota kelompok sudah bertentangan dengan norma-norma kelompok.
Dari beberapa
penjelasan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa terjadinya konflik
disebabkan oleh hal-hal berikut.
- Adanya perbedaan pendirian atau perasaan antara individu dan individu lain sehingga terjadi konflik di antara mereka.
- Adanya perbedaan kepribadian di antara anggota kelompok disebabkan oleh perbedaan latar belakang kebudayaan.
- Adanya perbedaan kepentingan atau tujuan di antara individu atau kelompok.
- Adanya perubahan-perubahan sosial yang cepat dalam masyarakat yang diikuti oleh adanya perubahan nilai-nilai atau sistem yang berlaku dalam masyarakat.
Berikut
ini contoh konflik yang terjadi di Indonesia
Apa
yang menjadi latar belakang munculnya konflik tersebut? Apabila Anda amati
dengan saksama, setidaknya ada dua kepentingan berbeda yang menjadi penyebab
munculnya konflik tersebut. Kepentingan pertama, kebijakan pemerintah untuk
melakukan impor beras dari Vietnam merupakan kepentingan politik. Kepentingan
kedua, para petani yang tergabung dalam FSPI menolak adanya impor beras karena
dapat menurunkan harga beras di pasar nasional sehingga dapat merusak
pendapatan petani dan ini merupakan kepentingan ekonomi. Dua kepentingan
tersebut (politik dan ekonomi) telah melatarbelakangi munculnya konflik
tersebut.
Sumber:
Bagja
Waluya. 2009. Sosiologi: Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat. Jakarta:
Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.
Soekanto,
Soerjono. 1990. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali.

