Pada abad ke-10 pusat
pemerintahan di Jawa Tengah dipindahkan ke Jawa Timur yang
tentunya dipengaruhi oleh berbagai faktor. Pendapat lama menyatakan karena
bencana alam, yakni meletusnya gunung berapi dan akibat banyak tenaga laki-laki yang dipekerjakan untuk membuat candi sehingga sawah menjadi terbengkalai.
Pendapat baru menyatakan
adanya dua faktor penyebabnya. Pertama, keadaan alam Bumi Mataram
tertutup secara alamiah dari dunia luar sehingga sulit untuk berkembang. Sebaliknya, alam Jawa Timur
lebih terbuka untuk mengembangkan aktivitas perdagangan dengan dunia luar.
Sungai Bengawan Solo dan Sungai Brantas dapat dipakai sebagai sarana perhubungan dan perdagangan antara pedalaman
dan pantai.
Di samping itu, tanah di Jawa Timur masih subur dibandingkan dengan Jawa Tengah yang sudah lama dimanfaatkan. Kedua, masalah politik, yakni untuk menghindarkan dari serangan Sriwijaya. Hal itu disebabkan setelah Dinasti Syailendra terdesak dari Jawa Tengah dan menetap di Sumatra merupakan ancaman yang serius bagi Dinasti Sanjaya.
a. Kehidupan Politik
Pemindahan kekuasaan ke
Jawa timur dilakukan oleh Raja Empu Sendok dan membentuk
dinasti baru yakni Isana. Nama Isana diambil dari gelar resmi Empu Sendok, yakni Sri Maharaja Rake Hino
Sri Isanawikramatunggadewa. Wilayah kekuasaan Empu Sendok meliputi Nganjuk
disebelah barat, Pasuruan di
timur, Surabaya di utara, dan Malang di selatan. Empu Sendok memegang pemerintahan tahun 929–947 dengan
pusat pemerintahannya di Watugaluh. Ia memerintah dengan adil dan bijaksana
dengan melakukan berbagai usaha
untuk kemakmuran rakyat. Di antaranya ialah membuat bendungan-bendungan untuk perairan dan
memberikan hadiah tanah untuk pemeliharaan bangunan-bangunan suci. Di samping
itu juga memerintahkan untuk mengubah sebuah kitab agama Buddha aliran
Tantrayana yang diberi judul Sang Hyang
Kamahayanikan.
Setelah Empu Sendok meninggal kemudian digantikan oleh putrinya yang bernama Sri Isanatunggawijaya. Putri ini menikiah dengan Lokapala yang melahirkan seorang putra yang bernama Makutawangsawardana sebagai peneruskan takhta ibunya. Setelah Makutawangsawardana meninggal yang menggantikan ialah Dharmawangsa (990–1016). Dalam pemerintahannya ia berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyatnya yang hidup dari pertanian dan perdagangan. Pada saat itu pusat perdagangan di Indonesia dikuasai oleh Sriwijaya sehingga untuk mengambilalihnya Dharmawangsa berusaha untuk menyerang Sriwijaya. Namun, Sriwijaya bangkit mengadakan serangan balasan.
Dalam hal ini Sriwijaya mengadakan kerja sama dengan Kerajaan Worawari (kerajaan di Jawa). Serangan Worawari sangat tepat, yakni ketika Dharmawangsa melangsungkan upacara pernikahan putrinya dengan Airlangga (1016) putra Raja Bali. Dharmawangsa beserta seluruh pembesar istana tewas (pralaya). Namun, Airlangga berhasil meloloskan diri beserta istri, pengiringnya yang setia Narotama, dan beberapa pendeta menuju hutan Wonogiri.
Selama tiga tahun
(1016–1019) Airlangga digembleng lahir dan batin oleh para
pendeta. Atas tuntutan rakyat dan pendeta, Airlangga bersedia menjadi raja menggantikan Dharmawangsa. Pada tahun
1019, Airlangga dinobatkan menjadi raja dengan gelar Sri Maharaja rake Halu
Lokeswara Dharmawangsa Airlangga Anantawikramatunggadewa. Tugas Airlangga ialah mengembalikan
kekuasaan seperti zaman Dharmawangsa dan berhasil dengan baik. Ibu kota kerajaan yang sebelumnya berada
Wutan Mas, kemudian dipindahkan ke Kahuripan pada tahun 1037. Selanjutnya,
Airlangga melakukan pembangunan di segala bidang demi kemakmuran rakyatnya.
Pada tahun 1042 Airlangga
mengundurkan diri dari takhta dan menjadi seorang petapa dengan nama
Jatinindra atau Resi Jatayu. Sebelumnya Airlangga ingin menobatkan putrinya, Sri Sanggramawijaya untuk menjadi
raja, namun ditolak karena ingin menjadi petapa
yang dikenal dengan nama Dewi Kili Suci. Akhirnya, kerajaan Airlangga dibagi menjadi dua, yakni Jenggala dengan ibu
kota Kahuripan dan Panjalu yang dikenal dengan nama Kediri untuk kedua putranya dari istri selir. Jenggala
diperintah oleh Garasakan, sedangkan Kediri oleh Samarawijaya.
b. Kehidupan Sosial-Ekonomi
Kehidupan sosial ekonomi
masyarakat Kerajaan di Jawa Timur ini cukup baik karena mendapat
perhatian dari raja-raja yang memerintah. Di antaranya Airlangga yang memerintahkan membuat tanggul
di Waringi Pitu (Prasasti Kalegen 1037) dan waduk-waduk di beberapa bagian
Sungai Brantas untuk pengairan
sawah-sawah dan mengurangi bahaya banjir.
Untuk memajukan
aktivitas perdagangan, Airlangga juga mengadakan perbaikan Pelabuhan Ujung
Galuh yang letaknya di Sungai Brantas. Selain itu, Airlangga juga melakukan
perbaikan pada Pelabuhan Kembang Putih di Tuban.
Sumber:
Chalid
Latif dan Irwin Lay. 1992. Atlas Sejarah Indonesia dan Dunia.
Jakarta: Pembina Peraga.
Dwi
Ari Listiyani. 2009. Sejarah 2 Untuk SMA/MA Kelas XI Program IPS.
Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen
Pendidikan Nasional.
Leo
Agung S. dan Dwi Ari Listiyani. 2003. Sejarah Nasional dan Umum 2. Surakarta:
Sebelas Maret University Press.
Marwati
Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. 1984. Sejarah Nasional Indonesia V dan
VI. Jakarta: Balai Pustaka.
Nugroho
Notosusanto. dkk . 1992. Sejarah Nasional Indonesia 2 dan 3.
Jakarta: Depdikbud.
