Model
dan peranan pekerja sosial dalam menangani konflik bisa dipertimbangkan sebagai
masukan bagi pendekatan strategi pembangunan serta integrasi bangsa Indonesia.
Ada beberapa peran yang dapat dilakukan ketika menangani konflik dalam
pekerjaan sosial.
Tiga
peran berikut yaitu mediator, fasilitator, dan broker, sangat relevan dalam
proses penanganan konflik dan dapat dijadikan model bagi para pendamai,
khususnya bagi mereka yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan pembimbingan sosial
yang bertugas di lapangan. Peran mediator dilakukan pada tahap berlangsungnya
konflik.
Adapun
peran fasilitator dan broker umumnya dilakukan pada fase “pascakonflik” yang
“pertempuran” dan “benturan-benturan fisik” sudah menurun. Dua peran ini sering
pula diterapkan pada tahap prakonflik atau pencegahan konflik.
a.
Mediator
Peran
mediator dilakukan pada saat terdapat perbedaan yang mencolok dan mengarah pada
pertentangan fisik antara berbagai pihak. Mediator dapat berperan sebagai orang
ketiga di antara anggota kelompok yang terlibat kelompok.
Kegiatan-kegiatan
yang dapat dilakukan dalam melakukan peran mediator meliputi kontrak perilaku,
negosiasi, pendamai pihak ketiga, serta berbagai macam penanganan situasi
kedaruratan. Dalam mediasi, upaya-upaya yang dilakukan pada hakikatnya
diarahkan untuk mencapai “solusi menang-menang” (win-win solution).
Hal
ini berbeda dengan peran sebagai “pembela” (advocate)
yang bantuan diarahkan untuk memenangkan kasus klien atau membantu klien
memenangkan dirinya sendiri. Beberapa teknik dan keterampilan yang dilakukan
peran mediator:
- mencari persamaan nilai dari pihak-pihak yang terlibat konflik.
- membantu setiap pihak agar mengakui legitimasi kepentingan pihak lain.
- membantu pihak-pihak yang bertikai dalam mengidentifikasi.
- hindari situasi yang mengarah pada munculnya kondisi menang dan kalah.
- berupaya untuk melokalisasi konflik ke dalam isu, waktu, dan tempat yang spesifik.
- membagi konflik ke dalam beberapa isu.
- membantu pihak-pihak yang bertikai untuk mengakui bahwa mereka lebih memiliki manfaat jika melanjutkan sebuah hubungan daripada terlibat terus dalam konflik.
- memfasilitasi komunikasi dengan cara mendukung mereka agar mau berbicara satu sama lain.
- menggunakan prosedur-prosedur persuasi.
b.
Fasilitator
Peranan
“fasilitator” sering disebut sebagai “pemungkin” (enabler). Keduanya bahkan sering dipertukarkan satu-sama lain.
Seperti dinyatakan Parsons, Jorgensen dan Hernandez (1994), “The traditional role of enabler in social
work implies education, facilitation, and promotion of interaction and action”.
Fasilitator
bertanggung jawab membantu klien menjadi mampu menangani tekanan situasional
atau transisional. Adapun kerangka acuan mengenai tugas yang dapat dilakukan
oleh seorang fasilitator, antara lain:
- mendefinisikan keanggotaan atau siapa yang akan dilibatkan dalam pelaksanaan kegiatan.
- mendefinisikan tujuan keterlibatan.
- mendorong komunikasi dan relasi, serta menghargai pengalaman dan perbedaan-perbedaan.
- memfasilitasi keterikatan dan kualitas sinergi sebuah sistem, menemukan kesamaan dan perbedaan.
- memfasilitasi pendidikan, membangun pengetahuan dan keterampilan.
- memberikan model atau contoh dan memfasilitasi usaha untuk pemecahan masalah bersama sehingga mendorong kegiatan kolektif.
- mengidentifikasi masalah-masalah yang akan dipecahkan.
- memfasilitasi penetapan tujuan.
- merancang solusi-solusi alternatif.
- mendorong pelaksanaan tugas.
- memelihara relasi sistem.
- memecahkan konflik.
c.
Broker
Pada
pengertian umum, seorang broker membeli dan menjual saham dan surat berharga
lainnya di pasar modal. Seorang broker berusaha untuk memaksimalkan keuntungan
dari transaksi tersebut sehingga klien dapat memperoleh keuntungan sebesar
mungkin. Pada saat klien menyewa seorang broker, klien meyakini bahwa broker
tersebut memiliki pengetahuan mengenai pasar modal, pengetahuan yang diperoleh
terutama berdasarkan pengalamannya sehari-hari.
Dalam
konteks penanganan konflik, broker sukarelawan tidak jauh berbeda dengan peran
broker di pasar modal. Seperti halnya di pasar modal, dalam penanganan konflik
terdapat “klien” atau “konsumen”, yakni kelompok-kelompok yang bertikai. Namun,
sukarelawan melakukan transaksi dalam pasar lain, yakni jaringan pertolongan
sosial. Selain pengetahuan mengenai kualitas pelayanan sosial di sekitar
lingkungannya, pemahaman dan penghargaan sukarelawan terhadap nilai-nilai
pluralisme (non-judgemental,
individualisation, self determination) sangat penting untuk menghindari
konflik kepentingan dan menjaga kenetralan.
Dalam
proses penanganan konflik, ada tiga prinsip utama dalam melakukan peranan
sebagai broker, yaitu:
- mampu mengidentifikasi dan melokalisasi sumber-sumber kemasyarakatan yang tepat.
- mampu menghubungkan konsumen atau klien dengan sumber secara konsisten.
- mampu mengevaluasi efektivitas sumber dalam kaitannya dengan kebutuhan-kebutuhan klien.
Prinsip-prinsip
tersebut sesuai dengan makna broker seperti telah dijelaskan di muka. Peranan
sebagai broker mencakup “menghubungkan klien dengan barang-barang dan jasa
serta mengontrol kualitas barang dan jasa tersebut. Dengan demikian, ada tiga
kata kunci dalam pelaksanaan peran sebagai broker, yaitu menghubungkan (linking), barang-barang dan jasa (goods and services), dan pengontrolan
kualitas (quality control).
Parsons,
Jorgensen dan Hernandez, menerangkan ketiga konsep tersebut, yaitu sebagai
berikut.
- Linking
adalah proses menghubungkan orang dengan lembaga-lembaga atau pihak-pihak lainnya
yang memiliki sumber-sumber yang diperlukan. Linking tidak sebatas hanya
memberi petunjuk kepada orang mengenai sumber-sumber yang ada. Lebih dari itu,
ia juga mengaitkan klien dengan sumber referal, mendistribusikan sumber, dan
menjamin bahwa barang-barang dan jasa dapat diterima oleh klien, melakukan
tindak lanjut.
- Goods
meliputi yang nyata, seperti makanan, uang, pakaian, perumahan, obat-obatan.
Adapun service mencakup keluaran pelayanan lembaga yang dirancang untuk
memenuhi kebutuhan hidup klien. Misalnya, perawatan kesehatan, pendidikan,
pelatihan, konseling, dan pengasuhan anak.
- Quality
Control adalah proses pengawasan yang dapat menjamin bahwa
produk-produk yang dihasilkan lembaga memenuhi standar kualitas yang telah
ditetapkan. Proses ini memerlukan monitoring terus-menerus terhadap lembaga dan
semua jaringan pelayanan untuk menjamin bahwa pelayanan memiliki mutu yang
dapat dipertanggungjawabkan setiap saat.
Sumber:
Bagja
Waluya. 2009. Sosiologi: Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat. Jakarta:
Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.
Cohen,
Bouce J. 1992. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rhineka Cipta.
Lawang, Robert M.Z.
1980. Pengantar Sosiologi. Jakarta: UT.
Pardoyo,
1993. Sekulerisasi dalam Polemik. Jakarta: Pustaka Utama Grafi.
Soekanto,
Soerjono. 1990. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali.


