Berikut ini contoh
kebijakan pengembangan ekspor dan impor.
1.
Kebijakan Proteksi
Tujuan
kebijakan ini adalah untuk melindungi industri di dalam negeri dari persaingan
barang-barang impor. Oleh karena itu, kebijakan ini disebut juga dengan
kebijakan proteksi. Kebijakan proteksi dapat diterapkan dengan berbagai macam
instrumen, baik yang berbentuk tarif maupun nontarif. Proteksi-proteksi yang
dilakukan dengan tidak menggunakan tarif ini disebut nontarif barriers (NTB).
2.
Tarif Impor
Tarif
impor atau bea masuk merupakan salah satu instrumen penting dari kebijakan
perdagangan luar negeri, baik di negara maju maupun di negara sedang
berkembang. Tarif impor pada hakikatnya adalah pajak untuk komoditas impor.
Tarif impor adalah pembebanan bea masuk terhadap barang-barang yang melewati
suatu negara. Dengan tarif, harga barang impor menjadi lebih mahal sehingga
merugikan konsumen dalam negeri. Beberapa alasan diberlakukannya tarif adalah
untuk memberikan per lindungan terhadap produsen dalam negeri, memelihara dan
memperluas kesempatan kerja, serta meningkatkan penerimaan pajak negara.
Dalam
kaitannya, ada tiga macam tarif, yaitu bea
ad. valorem atau bea harga, bea specific,
dan bea compound.
- Bea ad. Valorem adalah pembebanan pungutan bea masuk yang dihitung atas dasar persentase tertentu terhadap nilai barang impor (persen tarif × harga barang). Misalnya, tarif bea masuk impor mobil baru (CBU) 300%, harga mobil itu sendiri misalnya US$10.000.000 dengan kurs rupiah Rp8.000,00 per 1US$ sehingga, harga mobil itu di pasar dalam negeri Rp80 milyar, maka bea masuk mobil baru = 300% × 80 milyar = 240 milyar.
- Bea Specific adalah pembebanan pungutan bea masuk yang dihitung atas dasar satuan atau ukuran fisik tertentu dari barang yang diimpor. Misalnya, bea masuk televisi Rp100.000,00 per unit, sepatu Rp10.000,00 per pasang dan seterusnya.
- Bea Compound atau disebut juga specific ad. valorem adalah kombinasi antara bea masuk ad. valorem dan bea masuk specific. Misalnya, untuk jenis barang tertentu dikenakan bea masuk hanya 5% dari harga barang tersebut ditambah dengan Rp100,00 per unit.
Perbedaan
antara tarif bea masuk (a) dan (b) adalah bea
ad. valorem sifatnya proporsional. Artinya jumlah bea masuk yang dibayar
akan meningkat secara proporsional dengan peningkatan nilai barang. Adapun bea
masuk specific bersifat represif
artinya jumlah bea masuk yang dibayar relatif semakin kecil, jika barang yang
diimpor semakin besar jumlahnya.
3.
Kuota
Kuota
merupakan salah satu cara melakukan proteksi yang bersifat nontarif (NTB).
Kuota adalah kebijakan pembatasan secara fisik jumlah barang yang masuk (impor)
dan jumlah barang yang keluar (ekspor) melalui pasar domestik. Kuota yang
diterapkan pada barang impor disebut kuota impor, dan kuota yang dikenakan pada
barang ekspor disebut kuota ekspor. Pengaruh kuota terhadap permintan dan
penawaran barang di pasar domestik sama dengan pengaruh tarif. Dari kebijakan
dengan kuota, pemerintah tidak memperoleh penerimaan pajak.
4.
Larangan Ekspor
Jumlah
ekspor dapat dibatasi. Pembatasan jumlah ekspor ini bertujuan, antara lain:
- mencegah barang-barang yang penting agar tidak jatuh ke negara yang dianggap dapat membahayakan.
- menjamin ketersediaan barang dalam negeri dalam proporsi yang cukup.
- melakukan pengawasan produksi serta pengendalian harga dalam menjamin stabilitas ekonomi dalam negeri.
5.
Larangan Impor
Larangan
impor untuk produk-produk tertentu untuk selamanya atau selama jangka waktu
tertentu dilakukan dengan menetapkan jumlah maksimumnya. Contoh larangan impor
untuk modal narkoba dan senjata. Larangan impor pada hakikatnya adalah menutup
kembali sektor-sektor tertentu dalam perekonomian dengan maksud untuk
melindungi produsen di dalam negeri dari produk sejenis di luar negeri.
6.
Subsidi
Subsidi
merupakan salah satu kebijakan proteksi yang bersifat nontarif. Subsidi
biasanya diberikan dalam bentuk sejumlah uang tertentu secara langsung atau
tidak langsung melalui penurunan harga bahan mentah, BBM, keringanan pajak,
pengembalian pajak, dan fasilitas kredit dengan bunga rendah pada industri di
dalam negeri. Subsidi diberikan jika pemerintah ingin mendorong produksi dalam
negeri atau menargetkan bahwa impor suatu barang tidak melebihi jumlah
tertentu. Dengan subsidi, pemerintah berharap agar produsen di dalam negeri
dapat menjual barangnya lebih murah, sehingga bersaing dengan barang impor.
Pemberian subsidi akan berpengaruh terhadap menurunnya biaya produksi
perusahaan per unit.
7.
Diskriminasi Harga
Diskriminasi
harga diberikan oleh para produsen dalam pasar persaingan tidak sempurna
(monopoli atau oligopoli). Produsen dapat menentukan dua macam harga. Produsen
dapat menjual dengan harga yang sama kepada semua pembeli, atau menjual dengan
harga yang berbeda kepada pembeli tertentu. Contoh saat Jepang menjual salah
satu produknya (TV merek Sony) di Amerika Serikat dengan harga lebih murah
daripada di Jepang sendiri. Keterangan:
Monopolis
dalam hal ini perusahaan Sony Jepang me maksimumkan keuntungan di setiap pasar
dengan cara menyamakan penerimaan marjinal dengan biaya marjinal (MR=MC).
Perusahaan akan menetapkan harga yang lebih tinggi di pasar jika kurva
permintaan yang dihadapinya kurang elastik (lebih curam). Pada permintaan yang
lebih elastik (lebih landai) seperti di pasar AS yang kompetitif mereka akan
menetapkan harga yang lebih rendah. Dumping ini hanya dapat dilakukan jika tidak
ada lagi cara bagi para pembeli di negara yang mendapat harga lebih tinggi
untuk dilayani dengan output dari negara lain.
Sumber:
Boediono.
1999. Ekonomi Internasional, Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No. 3.
Yogyakarta: BPFE.
Deliarnov.
1997. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Djojohadikusumo,
Sumitro. 1994. Perkembangan Pemikiran Ekonomi: Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan
Ekonomi Pembangunan. Jakarta: LP3ES.
Imamul
Arifin, Giana Hadi Wagiana. 2009. Membuka Cakrawala Ekonomi untuk Kelas XI
Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah Program Ilmu Pengetahuan Sosial.
Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.
Krugman,
Paul R. dan Maurice Obstfeld. 1999. Ekonomi Internasional: Teori dan Kebijakan. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Lindert.
Peter H. dan Charles P. Kindleberger. 1990. Ekonomi Internasional. Edisi
Kedelapan. Jakarta: Erlangga.
Tambunan,
Tulus. 2000. Perdagangan Internasional dan Neraca Pembayaran: Teori dan Temuan
Empiris. Jakarta: LP3ES.

