Tujuan
utama kebijakan substitusi impor yaitu membangun sektor industri manufaktur
nasional yang kuat. Adapun tujuan-tujuan sekundernya meliputi peningkatan
kesempatan kerja (mengurangi pengangguran atau untuk menampung arus tenaga
kerja dari sektor pertanian) dan surplus neraca perdagangan atau neraca
pembayaran (BOP). Ini berarti surplus cadangan devisa, dengan cara mengurangi ketergantungan
ekonomi nasional ter hadap barang-barang impor. Untuk mencapai tujuan-tujuan
tersebut, salah satu cara yang ditempuh pemerintah Indonesia yakni dengan
mengenakan bea masuk yang tinggi terhadap barang-barang impor.
Cukup
banyak studi empiris mengenai implementasi kebijakan proteksi di Indonesia
selama pemerintahan Orde Baru dan dampaknya terhadap perkembangan sektor
industri manufaktur ekspor nonmigas nasional, di antaranya penelitian dari Fane
dan Phillips (1991) dan Condon dan Fane (1995,1996). Hasil studi dari Condon
dan Fane memperlihatkan besarnya proteksi (tarif) nominal (NRP) dan proteksi
efektif (ERP) terhadap beberapa sektor ekonomi dan beberapa jenis barang ekspor
manufaktur di Indonesia untuk periode 1987, 1990, 1992, dan 1994. Sektor
industri manufaktur menikmati perlindungan yang paling kuat dibandingkan
sektor-sektor primer. Walaupun di dalam sektor industri manufaktur itu sendiri
besarnya ERP bervariasi antarindustri.
Tingkat
proteksi yang berbeda antara sektor industri manu faktur dengan sektor-sektor
pertanian dan pertambangan dapat dipahami mengingat bahwa kebijakan pembangunan
sektor industri bertujuan untuk membangun atau memperkuat sektor industri
manufaktur dan meningkatkan peranannya di dalam perekonomian Indonesia. Adapun
tingkat proteksi yang bervariasi antar kelompok industri atau subsektor
manufaktur dapat dijelaskan dengan sejumlah teori. Basri dan Hill (1996) telah
melakukan survei literatur mengenai teori-teori yang mencoba menerangkan pola
atau struktur proteksi.
Hasil
survei itu menunjukkan bahwa ada tiga model, yang dapat digunakan untuk
menjelaskan kenapa tingkat proteksi berbeda antar industri, yakni the adding machine model, the interest group
model, dan the national interest
model. The adding machine model menjelaskan bahwa pemerintah berusaha
memaksimalkan kemungkinan untuk dipilih kembali. Untuk mencapai tujuan
tersebut, pemerintah akan memberi proteksi lebih kuat kepada industri padat
karya karena industri tersebut memiliki potensi calon pemilih yang besar.
Dasar
pemikiran dari the interest group model
dapat dijelaskan sebagai berikut. Besarnya tarif proteksi terhadap industri adalah
hasil tekanan dari kelompok-kelompok tertentu (interest group), misalnya pemilik industri, distributor pemilik
modal, dan pihak-pihak lain yang berkepentingan agar industri tersebut dapat
berkembang atau survive. Jika,
permintaan proteksi disetujui pemerintah mereka akan memberi hak pilih yang menguntungkan
pemerintah di dalam pemilihan umum berikutnya.
Pemerintah
memiliki suatu policy preference
tertentu yang secara normatif konsisten dengan kepentingan negara/bangsa.
Misalnya, peningkatan kesempatan kerja, pembangunan sektor industri manufaktur
yang kuat, pengembangan teknologi, dan peningkatan ekspor nonmigas. Preferensi
kebijakan ini tercerminkan pada tingkat proteksi yang diberikan kepada industri
atau sektor tertentu.
Pemerintah
Indonesia mengharapkan bahwa kebijakan substitusi impor akan memberi hasil
positif yang besar. Dalam arti Indonesia akan memiliki sektor industri yang
kuat dengan tingkat efisiensi, produktivitas, dan daya saing global yang
tinggi. Sektor industri manufaktur yang kuat akan mendukung kinerja ekspor
nonmigas, khususnya manufaktur, yang akan menambah cadangan devisa yang besar
bagi Indonesia.
Namun,
krisis ekonomi yang terjadi pada akhir 1997 atau awal 1998 telah membuktikan
bahwa ternyata selama pemerintahan Orde Baru, sektor industri manufaktur telah
berkembang secara tidak sehat. Walaupun laju pertumbuhan outputnya rata-rata
positif setiap tahun, namun sektor tersebut sangat tergantung pada impor, khususnya
untuk barang-barang modal dan bahan baku yang telah diolah. Kebijakan
substitusi impor sebenarnya bermaksud untuk mengurangi ketergantungan Indonesia
pada impor barang-barang manufaktur. Sementara, ekspor manufaktur Indonesia
belum berkembang baik. Hal ini dapat dilihat pada tingkat diversifikasi produk-produk
ekspor yang masih rendah dan sebagian besar masih dari kategori teknologi
menengah dan rendah.
Sumber:
Sumber:
Boediono.
1999. Ekonomi Internasional, Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No. 3.
Yogyakarta: BPFE.
Deliarnov.
1997. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Djojohadikusumo,
Sumitro. 1994. Perkembangan Pemikiran Ekonomi: Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan
Ekonomi Pembangunan. Jakarta: LP3ES.
Imamul
Arifin, Giana Hadi Wagiana. 2009. Membuka Cakrawala Ekonomi untuk Kelas XI
Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah Program Ilmu Pengetahuan Sosial.
Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.
Krugman,
Paul R. dan Maurice Obstfeld. 1999. Ekonomi Internasional: Teori dan Kebijakan. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Lindert.
Peter H. dan Charles P. Kindleberger. 1990. Ekonomi Internasional. Edisi
Kedelapan. Jakarta: Erlangga.
Tambunan,
Tulus. 2000. Perdagangan Internasional dan Neraca Pembayaran: Teori dan Temuan
Empiris. Jakarta: LP3ES.
