Di
wilayah Jawa Barat muncul Kerajaan Sunda yang diduga merupakan kelanjutan dari
Kerajaan Tarumanegara yang runtuh pada abad ke-7. Berita munculnya Kerajaan
Sunda dapatbdiketahui dari Prasasti Canggal yang ditemukan di Gunung Wukir,
Jawa Tengah berangka tahun 732 M. Dalam Prasasti Canggal disebutkan bahwa
Sanjaya telah mendirikan tempat pemujaan di Kunjarakunja (daerah Wukir). Ia
adalah anak Sanaha, saudara perempuan Raja Sanna.
Dalam
kitab Carita Parahyangan dinyatakan bahwa Sanjaya adalah anak Raja Sena yang
berkuasa di Kerajaan Galuh. Suatu ketika terjadi perebutan kekuasaan yang
dilakukan oleh Rahyang Purbasora, saudara seibu dengan Raja Sena. Raja Sena
berhasil dikalahkan dan melarikan diri ke Gunung Merapi berserta keluarganya.
Selanjutnya Sanjaya, putra Sanaha berkuasa di Galuh.
Beberapa
waktu kemudian, Sanjaya pindah ke Jawa Tengah menjadi raja di Mataram,
sedangkan Sunda dan Galuh diserahkan kepada putranya Rahyang Tamperan. Sampai
sekarang para ahli masih berbeda pendapat mengenai keterkaitan antara tokoh
Sanna dan Sanjaya di dalam Prasasti Canggal dengan Raja Sena dan Sanjaya di
dalam kitab Carita Parahyangan.
Dalam
waktu yang cukup lama tidak dapat diketahui perkembangan keadaan Kerajaan Sunda
selanjutnya. Kerajaan Sunda baru muncul kembali pada abad ke-11 (1030) ketika
di bawah pemerintahan Maharaja Sri Jayabhupati. Nama Maharaja Sri Jayabhupati
terdapat pada Prasasti Sanghyang Tapak yang ditemukan di Pancalikan dan
Bantarmuncang di tepi Sungai Citatih, Cibadak, Sukabumi. Prasasti itu berangka
tahun 952 Saka (1030 M), berbahasa Jawa Kuno dengan huruf Kawi. Isinya, antara
lain menyebutkan bahwa Maharaja Sri Jayabhupati Jayamanahen Wisnumurti Samararijaya
Sakalabhuwana Mandalesrananindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa berkuasa
di Prahajyan Sunda.
Prasasti
Sanghyang Tapak juga berisi pembuatan daerah terlarangan di sebelah timur
Sanghyang Tapak. Daerah itu berupa sebagian dari sungai yang ditandai dengan
batu besar di bagian hulu dan hilir oleh Raja Jayabhupati penguasa Kerajan
Sunda. Di daerah larangan itu, orang tidak boleh menangkap ikan dan segala
hewan yang hidup di sungai tersebut. Siapa yang berani melanggar larangan itu,
ia akan dikutuk oleh dewa. Orang yang terkena kutukan sangat mengerikan karena
akan terbelah kepalanya, terminum darahnya, dan terpotong-potong ususnya.
Tujuannya, mungkin untuk menjaga kelestarian lingkungan agar ikan dan binatang
lainnya tidak punah.
Berdasarkan
gelar yang digunakannya, menunjukkan ada kesamaannya dengan gelar Airlangga di
Jawa Timur. Selain itu, masa pemerintahannya juga bersamaan. Ada dugaan bahwa
di antara kedua kerajaan itu ada hubungan atau pengaruh. Namun, Sri Jayabhupati
menegaskan bahwa dirinya sebagai Haji ri Sunda (Raja di Sunda). Dengan demikian
jelas bahwa Jayabhupati bukan merupakan raja bawahan Airlangga.
Pada
masa pemerintahan Sri Jayabhuptai, pusat Kerajaan Sunda ialah Pakwan Pajajaran.
Akan tetapi, tidak lama kemudian pusat kerajaanya dipindahkan ke Kawali (daerah
Cirebon sekarang). Kawali dekat dengan Galuh, yakni pusat Kerajaan Sunda masa
Sanjaya. Agama yang dianut Sri Jayabhupati ialah Hindu aliran Wisnu atau Hindu
Waisnawa. Hal ini dapat diketahui dari gelarnya, yaitu Wisnumurti Agama yang
sama juga dianut oleh Airlangga. Dengan , ada kemungkinan bahwa pada abad ke-11
agama yang berkembang di Jawa adalah Hindu Waisnawa.
Setelah
masa pemerintahan Jayabhupati, pada tahun 1350 yang menjadi raja di Kerajaan
Sunda adalah Prabu Maharaja. Ia mempunyai seorang putri bernama Dyah Pitaloka.
Putri itu akan dijadikan istri oleh Raja Majapahit, Hayam Wuruk. Raja Sunda bersama
para pengiringnya datang ke Majaphit mengantarkan putrinya untuk menikah. Akan
tetapi, Gajah Mada menginginkan agar putri itu dipersembahkan sebagai tanda
takhluk. Akhirnya timbul perang. Gajah Mada ingin memaksanakan kehendaknya, sebab
Kerajaan Sunda adalah satu-satunya kerajaan yang belum tunduk di bawah
kekuasaan Majapahit. Ini berarti, Sumpah Palapa tidak bisa terwujud sepenuhnya.
Kebetulan, Raja Sunda datang untuk menikahkan putrinya dengan Hayam Wuruk. Ini
adalah kesempatan yang baik untuk menaklukkan Sunda.
Prabu
Maharaja berperang melawan tentara Majapahit yang dipimpin Gajah Mada di daerah
Bubat pada tahun 1357. Kekuatan tentara Sunda tidak seimbang dengan kekuatan
tentara Gajah Mada. Dalam pertempuran itu, Raja Sunda bersama putri Dyah
Pitaloka dan para pengiringnya terbunuh. Kematian Raja Sunda dan calon istrinya
membuat Raja Hayam Wuruk marah besar kepada Gajah Mada. Gajah Mada kemudian
diberhentikan sebagai Mahapatih Majapahit. Sejak itulah hubungan antara Hayam
Wuruk dan Gajah Mada retak.
Prabu
Maharaja digantikan oleh putranya yang bernama Rahyang Nsikala Wastu Kancana.
Menurut kitab Carita Parahyangan, pada waktu terjadi Perang Bubat, Wastukancana
baru berumur 5 tahun. Ia tidak ikut ke Majapahit sehingga selamat dari
kematian. Dalam pemerintahan, Wastukancana diwakili oleh Rahyang Bunisora yang
berlangsung sekitar 14 tahun (1357–1371). Setelah naik takhta, Wastu Kancana
sangat memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. Ia memerintah sesuai dengan
undang-undang dan taat pada agamanya. Oleh karena itu, kerajaannya aman dan
makmur. Masa pemerintahan Wastu Kancana cukup lama (1371–1471).
Pengganti
Wastu Kancana adalah Tohaan di Galuh atau Rahyang Ningrat Kancana. Ia memegang
pemerintahan selama tujuh tahun (1471–1478). Setelah itu, Kerajaan Sunda berada
di bawah pemerintahan Sang Ratu Jayadewata (1482–1521). Pada Prasasti
Kebantenan, Jayadewata disebut sebagai Susuhunan di Pakwan Pajajaran. Pada
Prasasti Batu Tulis, Sang Ratu Jayadewata disebut dengan nama Sri Baduga
Maharaja. Ia adalah putra Ningrat Kancana. Di bawah pemerintahan Sang Ratu
Jayadewata, Kerajaan Sunda mencapai puncak kejayaannya. Ia membuat sebuah telaga
yang diberi nama Telaga Rena Mahawijaya. Ia juga memerintahkan membuat parit di
sekeliling ibu kota kerajaan yang bernama Pakwan Pajajaran. Raja Sri Baduga
memerintah berdasarkan kitab hukum yang berlaku saat itu, sehingga kerajaan
menjadi aman, tenteram, dan sejahtera.
Sang
Ratu Jayadewata, telah memperhitungkan adanya pengaruh Islam yang makin meluas
di Kerajaan Sunda. Untuk mengantisipasinya, Sang Ratu menjalin hubungan dengan
Portugis di Malaka. Dari berita Portugis, dapat diperoleh keterangan bahwa pada
tahun 1512 dan 1521, Ratu Samiam dari Kerajaan Sunda memimpin perutusan ke
Malaka untuk mencari sekutu. Pada waktu itu, Malaka telah berada di bawah
kekuasaan Portugis.
Pada
tahun 1522, perutusan Portugis di bawah pimpinan Hendrik de Leme datang ke
Kerajaan Sunda. Pada waktu itu, Kerajaan Sunda berada di bawah pemerintahan
Ratu Samiam. Ratu Samiam menurut para ahli sama dengan Prabu Surawisesa yang
disebut dalam kitab Carita Parahyangan. Masa pemerintahannya berlangsung dari
tahun 1521–1535. Jika hal itu benar maka pada waktu ia memimpin perutusan ke
Malaka, Surawisesa ( Ratu Samiam) masih menjadi putra mahkota.
Pada
masa pemerintahannya, terjadi serangan tentara Islam di bawah pimpinan Maulana
Hasanuddin dari Kerajaan Banten. Beberapa kali tentara Islam berusaha merebut
ibu kota Kerajaan Sunda, tetapi belum berhasil. Pada tahun 1527, Sunda Kelapa
yang merupakan pelabuhan terbesar Kerajaan Sunda jatuh ke tangan tentara Islam.
Akibatnya, hubungan pusat Kerajaan Sunda di pedalaman dengan daerah luar
terputus. Satu per satu, pelabuhan Kerajaan Sunda jatuh ke tangan kekuasaan
Kerajaan Banten sehingga Raja Sunda terpaksa bertahan di pedalaman.
Prabu
Surawisesa digantikan oleh Prabu Ratu Dewata (1535–1543). Kerajaan Sunda hanya
bertahan di pedalaman. Pada masa itu, sering terjadi serangan terhadap Kerajaan
Sunda dari Kerajaan Banten. Hal ini sesuai dengan kitab Purwaka Caruban Nagari
yang berkaitan dengan sejarah Cirebon. Dalam naskah tersebut dinyatakan bahwa pada
abad ke-15 di Cirebon telah berdiri perguruan Islam jauh sebelum Syarif
Hidayatullah ( Sunan Gunung Jati) berdakwah menyebarkan agama Islam.
Ratu
Dewata kemudian digantikan oleh Sang Ratu Saksi (1543–1551). Ia seorang raja
yang kejam dan senang berfoya-foya. Ratu Saksi kemudian digantikan oleh Tohaan
di Majaya (1551–1567). Ia juga seorang raja yang suka berfoya-foya dan
mabuk-mabukan. Raja terakhir Kerajaan Sunda ialah Nusiya Mulya. Kerajaan Sunda
sudah lemah sekali sehingga tidak mampu bertahan dari serangan tentara Islam
dari Banten dan runtuhlah Kerajaan Sunda di Jawa Barat.
Sumber:
Chalid
Latif dan Irwin Lay. 1992. Atlas Sejarah Indonesia dan Dunia.
Jakarta: Pembina Peraga.
Dwi
Ari Listiyani. 2009. Sejarah 2 Untuk SMA/MA Kelas XI Program IPS.
Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen
Pendidikan Nasional.
Leo
Agung S. dan Dwi Ari Listiyani. 2003. Sejarah Nasional dan Umum 2. Surakarta:
Sebelas Maret University Press.
Marwati
Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. 1984. Sejarah Nasional Indonesia V dan
VI. Jakarta: Balai Pustaka.
Nugroho
Notosusanto. dkk . 1992. Sejarah Nasional Indonesia 2 dan 3.
Jakarta: Depdikbud.
