Tujuan kebijakan pengembangan ekspor adalah untuk mendukung dan meningkatkan pertumbuhan ekspor. Tujuan ini dapat dicapai dengan berbagai macam kebijakan antara lain menyangkut perpajakan dalam berbagai bentuk. Misalnya, pembebasan dan keringanan pajak ekspor, dan penyediaan fasilitas khusus kredit perbankan bagi eksportir.
Pada pertengahan 1980an,
pemerintah mengubah secara bertahap kebijakan perdagangan luar negerinya dari
substitusi impor ke promosi ekspor dengan menerbitkan sejumlah paket
deregulasi. Hal ini merupakan awal dari reformasi perdagangan yang terus
berjalan hingga sekarang, dan intensitasnya bertambah tinggi sejak krisis
ekonomi melanda Indonesia, sebagai konsekuensi dari kese pakatan antara
pemerintah Indonesia dengan International Monetary Fund (IMF). Namun,
pemerintah mengambil kebijakan dengan tujuan untuk mengurangi ketergantungan ekonomi nasional terhadap ekspor minyak dan beralih ke ekspor nonmigas dengan industri manufaktur sebagai sektor unggulan.
Di dalam kebijakan baru
ini, yang lebih open economy-oriented
dibandingkan kebijakan substitusi impor, pemerintah menghilangkan sejumlah non tariff barriers (NTBs), khususnya
pembatasan impor secara kuantitatif, dengan tujuan untuk menghilangkan anti-export bias
dari rezim perdagangan luar negerinya. Selain itu, pemerintah juga melakukan
konversi dari kuota ke proteksi dengan tarif, penurunan tarif proteksi secara
bertahap, dan memperkenal kan pembebasan dan pengembalian pajak bagi
perusahaan-perusahaan eksportir yang mengekspor paling sedikit 85 persen dari
jumlah outputnya. Selama bulan Juli 1996 hingga November 1997, ada empat
paket deregulasi penting:
1. Deregulasi 4 Juli 1996
Deregulasi ini mencakup antara lain:
- pelayanan khusus di bidang kepabeanan dan perpajakan kepadaperusahaan-perusahaan tekstil dan produk-produknya (TPT), produk kulit, alaskaki, elektronika, dan barang jadi lainnya.
- pencabutan pemeriksaan barang ekspor oleh surveyor.
- penyederhanaan persyaratan dan prosedur memperoleh SKA (Surat Keterangan Asli) barang ekspor.
2. Deregulasi 7 Juli 1997
Tujuan deregulasi ini untuk
meningkatkan efisiensi ekonomi, yang berarti meningkatkan daya saing global
dari barang-barang dalam negeri, serta mewujudkan konsistensi pemerintah pada
kesepakatan APEC, AFTA, dan WTO. Deregulasi ini di antaranya mencakup
pergantian struktur pajak ekspor CPO (Crude
Palm Oil) dan penurunannya dari tarif spesifik menjadi tarif ad-valorem.
3. Deregulasi 3 Oktober 1997
Pemerintah memberikan
fasilitas bagi eksportir dan noneksportir yang berperan sebagai pemasok barang
atau input pada eksportir. Fasilitas itu berupa semacam dana talangan yang
diberikan Bank Indonesia melalui sistem perbankan, dengan tingkat suku bunga
hanya sebesar 1 persen di atas SIBOR (Singapore Interbank Offered Rate).
4. Deregulasi 3 November 1997
Fasilitas ekspor yang diberikan mencakup:
- penambahan kelompok/jenis komoditas cakupan PerusahaanEksportir Tertentu (PET).
- standar konversi penggunaan bahan baku/penolong.
- penurunan bea masuk atas sejumlah produk dan pajak ekspor.
- penghapusan PPh atas impor emas batangan untuk menghasilkan barang perhiasan untuk tujuan ekspor.
- pengenaan PPN nol persen untuk ekspor tidak langsung.
- pemberian kelonggaran pengeluaran komponen hasil olahan dari pengusaha di Kawasan Berikat ke daerah pabean Indonesia lainnya.
Selama tahun 1997, untuk mendukung kebijakan pemerintah tersebut, Bank Indonesia juga telah memberikan fasilitas berupa, swap bagi para eksportir yang memiliki valas atau memiliki tagihan dalam valas dan foreword buying untuk keperluan impor dalam rangka ekspor.
Selain itu, sejak 1996 pemerintah telah memberikan fasilitas wesel ekspor berjangka dengan persyaratan yang lebih menarik kepada eksportir. Di samping itu, kepada pemasok barang pada Perusahaan Eksportir Tertentu (PET), diberikan fasilitas untuk pembiayaan pengadaan barang di dalam negeri dalam bentuk pembelian secara diskonto Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN atau L/C Lokal). Selain itu, insentif lainnya yang diberikan kepada perusahaan-perusahaan eksportir adalah pembangunan export processing zones, tax holidays, kreditkhusus untuk ekspor, dan penghapusan pajak untuk pelatihan dan penelitian dan pengembangan.
Tetapi, walaupun pemerintah telah menerbitkan sejumlah paket deregulasi sejak pertengahan 1980an, proteksi terhadap sejumlah industri di dalam negeri masih tinggi dan antiekspor bias di dalam rezim perdagangan luar negeri Indonesia masih belum hilang sepenuhnya (World Bank, 1996). Namun demikian, sesuai kesepakatan pemerintah Indonesia dengan IMF untuk mempercepat reformasi ekonomi, termasuk di bidang perdagangan luar negeri, dan untuk mewujudkan konsistensi pemerintah pada kesepakatan-kesepakatan APEC, AFTA, dan WTO mengenai perdagangan bebas, proteksi dan hambatan-hambatan terhadap ekspor di Indonesia akan terus berkurang dalam proses yang lebih cepat dibandingkan pada masa sebelum krisis ekonomi.
Sumber:
Imamul Arifin, Giana Hadi Wagiana. 2009. Membuka Cakrawala Ekonomi untuk Kelas XI Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah Program Ilmu Pengetahuan Sosial. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.
Krugman, Paul R. dan Maurice Obstfeld. 1999. Ekonomi Internasional: Teori dan Kebijakan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Lindert. Peter H. dan Charles P. Kindleberger. 1990. Ekonomi Internasional. Edisi Kedelapan. Jakarta: Erlangga.
Boediono. 1999. Ekonomi Internasional, Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No. 3. Yogyakarta: BPFE.
Tambunan, Tulus. 2000. Perdagangan Internasional dan Neraca
Pembayaran: Teori dan Temuan Empiris. Jakarta: LP3ES.
Deliarnov. 1997. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Djojohadikusumo, Sumitro. 1994. Perkembangan Pemikiran Ekonomi:Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan. Jakarta: LP3ES.
