Kehidupan Politik di Kerajaan Bali | ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (ARDI TRI YUWONO)
Gunakan fitur "search my site" untuk mencari artikel yang anda inginkan
 

Sabtu, 18 September 2021

Kehidupan Politik di Kerajaan Bali

 

Kerajaan Bali Kuno terletak di Pulau Bali yang berada di sebelah timur Provinsi Jawa Timur. Kerajaan Bali mempunyai hubungan sejarah yang erat dengan kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa, khususnya di Jawa Timur, seperti kerajaan Singasari dan Majapahit.

 

Berita tertua mengenai Bali bersumber dari Bali sendiri, yakni berupa beberapa buah cap kecil dari tanah liat yang berukuran 2,5 cm yang ditemukan di Pejeng, Bali. Cap-cap itu dibuat pada abad ke-8 M. Adapun prasasti tertua di Bali berangka tahun 882 M, memberitakan perintah membuat pertapaan dan pasanggrahan di Bukit Kintamani. Di dalam prasasti tersebut tidak ditulis nama raja yang memerintah pada masa itu. Demikian juga prasasti yang berangka tahun 911 M yang isinya memberikan izin kepada penduduk Desa Trunyaan untuk membangun tempat suci bagi pemujaan Bhattara da Tonta.

 

Prasasti Blanjong


Munculnya Kerajaan Bali dapat diketahui dari Prasasti Blanjong (Sanur) yang berangka tahun 914 M. Prasasti tersebut itulis dengan huruf Pranagari dan Kawi, sedang bahasanya ialah Bali Kuno dan Sanskerta. Raja Bali yang pertama ialah Kesari Warmadewa. Ia bertakhta di Istana Singhadwala dan merupakan raja yang mendirikan Dinasti Warmadewa. Dua tahun kemudian, Kesari Warmadwa digantikan oleh Ugrasena (915–942). Raja Ugrasena bertakhta di Istana Singhamandawa. Masa pemeritahannyasezaman dengan pemerintahan Empu Sendok dari keluarga Isana di Jawa Timur. Raja Ugrasena meninggalkan sembilan prasasti yang umumnya berisi tentang pembebasan pajak untuk daerah-daerah tertentu.

 

Raja yang memerintah setelah Ugrasena adalah Aji Tabanendra Warmadewa (955–967). Raja ini memerintah bersama-sama permaisurinya yang bernama Sri Subadrika Dharmadewi. Pengganti berikutnya ialah Jayasingha Warmadewa (968–975). Raja ini membangun sebuah pemandian dari sebuah mata air yang ada di Desa Manukaya. Pemandian itu disebut Tirtha Mpul yang terletak di dekat Tampaksiring. Raja Jayasingha digantikan oleh Janasadhu Warmadewa (975–983).

 

Pada tahun 983 muncul seorang raja wanita yang bernama Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi. Pengganti Sri Wijaya Mahadewi ialah Udayana Warmadewa. Ia memerintah bersama permaisurinya, yaitu Gunapriya Dharmapatni yang lebih dikenal sebagai Mahendradatta. Udayana memerintah bersama permaisurinya sampai dengan tahun 1001 M karena pada tahun itu Mahendradatta meninggal. Udayana meneruskan pemerintahannya sampai dengan tahun 1011 M.

 

Raja Udayana mempunyai tiga orang putra, yakni Airlangga, Marakata, dan Anak Wungsu. Airlangga tidak pernah memerintah di Bali sebab menjadi menantu Dharmamangsa di Jawa Timur. Oleh karena itu, setelah Udayana meninggal, takhtanya digantikan oleh Marakata. Setelah naik takhta, Marakarta memakai gelar Dharmawangsawardhana Marakata Pangkaja- sthana Uttunngadewa. Masa pemerintahan Marakata sezaman dengan Airlangga (1011–1022 M). Ia dianggap sebagai kebenaran hukum yang selalu memerhatikan dan melindungi rakyatnya. Oleh karena itu, Marakata disegani dan ditaati oleh rakyatnya.

 

Pengganti Marakata ialah Anak Wungsu. Anak Wungsu merupakan Raja Bali yang paling banyak meninggalkan prasasti, yakni ada kurang lebih 28 buah prasasti dan tersebar di Bali Utara, Bali Tengah, dan Bali Selatan. Anak Wungsu berhasil memegang tampuk pemerintah di Bali selama 28 tahun (1049–1077). Semasa pemerintahannya, ia berhasil mewujudkan kerajaan yang aman, damai, dan sejahtera. Penganut agama Hindu dapat hidup berdampingan dengan agama Buddha. Anak Wungsu berhasil membangun sebuah kompleks percandian di Gunung Kawi (sebelah selatan Tampaksiring) yang merupakan peninggalan terbesar di Bali. Masa pemeritahannya yang gemilang, Anak Wungsu dianggap oleh rakyatnya sebagai penjilman Dewa Hari (Dewa Kebaikan). Setelah meninggal, Anak Wungsu didharmakan di Candi Gunung Kawi.

 

Anak Wungsu tidak meninggalkan putra. Permisurinya dikenal dengan nama Batari Mandul. Raja yang memerintah setelah Anak Wungsu yang terkenal ialah Jayasakti (1133–1150). Masa pemerintahan Jayasakti sezaman dengan Raja Jayabaya di Kediri. Pada saat itu agama Buddha, Siwaisme, dan Waisnama berkembang dengan baik. Raja Jayasakti disebut sebagai penjilmaan Dewa Wisnu. Sebagai seorang raja yang bijaksana, ia memerintah kerajaan berdasarkan pada hukum keadilan dan kemanusiaan. Kitab undang-undang yang berlaku pada masa pemerintahannya ialah Utara Widdhi Balawan dan Raja Wacana atau Rajaniti.

 

Raja Bali yang terkenal lainnya ialah Jayapangus (1177–1181). Raja Jayapangus dianggap sebagai penyelamat rakyat yang terkena malapetaka karena melalaikan ibadah. Jayapangus menerima wahyu dari Dewa untuk mengajak rakyat kembali melakukan upacara rital agama yang sampai sekarang dikenal dan diperingati sebagai upacara Galungan. Kitab undang-undang yang digunakan sebagai pedoman masa pemerintahannya ialah kitab Mana Wakamandaka. Setelah Jayapangus, Bali diperintah oleh raja-raja yang lemah. Bali kemudian berhasil ditaklukan oleh Gajah Mada dan menjadi wilayah kekuasaan Majapahit.



Sumber:

 

Dwi Ari Listiyani. 2009. Sejarah 2 Untuk SMA/MA Kelas XI Program IPS. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional. Chalid Latif dan Irwin Lay. 1992. Atlas Sejarah Indonesia dan Dunia. Jakarta:
Pembina Peraga.

Leo Agung S. dan Dwi Ari Listiyani. 2003. Sejarah Nasional dan Umum 2. Surakarta: Sebelas Maret University Press.

Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. 1984. Sejarah Nasional Indonesia V dan VI. Jakarta: Balai Pustaka.

Nugroho Notosusanto. dkk . 1992. Sejarah Nasional Indonesia 2 dan 3. Jakarta: Depdikbud.

 
 
 
ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (ARDI TRI YUWONO) © 2020